Jumat, 25 Agustus 2017

Apa yang membuatmu kembali ?



Apa yang membuatmu kembali ?

            Sampai sekarang aku belum pernah berpikir untuk pulang ke rumah. Memang terkadang aku merindukan suasana rumah. Suasana yang sudah terpendam lama dalam ingatanku. Tapi mengingat semua yang pernah aku alami membuat aku takut untuk kembali. Jika aku punya waktu, aku akan pulang untuk bertemu dengan keluargaku.
New York, di sini aku ditemani sahabatku, Moo Ri. Kami sudah lama hidup bersama, tepatnya sejak aku meninggalkan Seoul. Dia orang yang menarik,  senang sekali bercanda. Ia suka memainkan lelucon lama, sebenarnya leluconnya tidak terlalu menarik, namun ekspresi wajahnya membuat aku tak bisa menahan tawa.
            Hari itu, kami bertemu di sebuah kafe. Kami duduk menghadap ke arah jalan, dia membuka percakapan. Meskipun aku sudah tahu apa yang ingin disampaikannya, namun aku berpura-pura tidak tahu. Tangan mungilnya memegang cangkir kopi sambil memejamkan mata. Ia seperti sedang merasakan sesuatu yang membuatnya hangat.
            “New York,” ucapnya sambil menggenggam secangkir kopi.
            “Kau sedang menghangatkan diri dengan secangkir kopi.” Sahutku.
            “Hey,, apakah kau tidak merindukan rumah? Sudah dua tahun kita tidak pulang.” Gelagaknya menggodaku.
            Aku terdiam dengan ucapannya itu. Dia seolah memberiku umpan untuk menunjukan pernyataan terdalam dari ingatanku. Dia tak pernah berhenti untuk membujukku kembali ke rumah. Namun, tak satupun usahanya yang berhasil menaklukan hatiku. Aku tidak pernah mendengarkannya. Meskipun ia selalu membahas semua tentang Seoul dan Busan. Hampir setiap hari ia selalu mengatakan hal yang sama “Seoul, Bogosipda.”
            Aku selalu diam menutup telinga atau bahkan menghiraukan semua ucapannya. Aku tidak mau memperpanjang percakapan itu. Percakapan yang segera aku sudahi dengan mengajaknya pulang ke apartemen. Matahari sudah membalikan badannya, jalanan dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu. Moo Ri menggandeng tanganku dengan erat.
Ketika perjalanan kami baru sampai di bawah lampu trotoar, tiba-tiba seseorang datang menghampiri kami. Lee Soo Man, kami memanggilnya dengan sebutan “So Man”, yang artinya laki-laki sejati. Dia adalah teman kemanan kami selama berada di luar negeri. Tubuhnya sangat idealis seperti tubuh model kebanyakan. Kelakarnya tak ada ubahnya seperti Moo Ri. Selalu membuat lelucon namun tidak pernah menarik.
Tiba-tiba dia berbisik dengan Moo Ri. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak biasanya dia melakukan itu. Aku menepuk bahunya.
            “Yakkk..... kau !!! ” bentak ku.
            “Apa?? Kau cemburu? Maaf kalau begitu.” Menggodaku dengan wajah tak bersalahnya.
            “Hanya wanita bodoh yang merasakan cemburu seperti itu.” Jawabku tegas.
            “Kau,,,, tidakkah itu terlalu menyakitkan.” Menatapku dengan tajam.
            “Tidak, itu sedikit menghiburku.” Aku tersenyum.
            “Hentikan. Ini sudah larut. Sebaiknya kita segera pulang.” Tangkas Moo Ri
            Aku masih penasaran dengan bisikan itu. Rasa penasaranku membuat aku menatap raut wajah Moo Ri. Aku melihat sesuatu yang buruk sudah mengganggu pikirannya. Dia menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan ke rumah. Meskipun tangan kami bergandengansangat erat,  tapi rasanya pikiran kami sedang berpisah. Bisa jadi pikirannya berada di Seoul, nyawanya sedang bersamaku.
            Sesampainya di apartemen, dia berlari ke kamar. Aku melihat dia mengunci pintu kamarnya. Dia meninggalkan aku begitu saja. Padahal biasanya kami menghabiskan malam dengan memakan beberapa donat. Tetapi tidak untuk malam ini. Malam ini dia tidur lebih awal.
Aku mengganti baju kemudian kembali ke ruang tamu. Duduk sendirian di ruang tamu membuat aku merasa kesepian. Aku coba mengetuk pintu kamarnya. Satu dua kali aku ketuk, tak ada jawaban. Kemudian aku berbalik badan, tiba-tiba dia memelukku dari belakang. Dan aku mendengar suaranya yang terisak-isak. Aku mengajaknya duduk di ruang tamu. Aku berusaha membuatnya tenang.
Aku membiarkannya menangis. Hampir lima belas menit ia menangis. Kemudian dia membuka percakapan dengan nada sendunya. Dia menceritakan semua kronologinya. Dan aku hanya terdiam. Aku berpikir bahwa aku terlalu egois. Sampai-sampai membuat seseorang menangis dan terluka. Aku tidak pernah berpikir sejauh ini. Ternyata dia benar-benar ingin pulang.
            “Maafkan aku sudah membuatmu khawatir.” nada suaranya menurun.
            “Tidak. Aku yang harusnya meminta maaf padamu. Maaf jika ini semua salahku. Aku yang memintamu untuk tinggal bersamaku. Maaf jika aku sudah memisahkanmu dengan kedua orangtuamu. Jika kau ingin pulang. Pulanglah.” Dengan tegas aku ucapkan.
            “Bagaimana denganmu?” sembari menatap wajahku.
            “Aku? Aku akan baik-baik saja.” Aku berusaha meyakinkannya.
            Dia terus mengucapkan maaf. Seharusnya akulah yang menangis seperti itu. Aku sudah membawanya masuk ke dalam duniaku. Aku menyuruh Moo Ri untuk pulang. Dan sebagai permintaan maaf, aku mengurus tiket pesawat untuknya. Malam itu, aku benar-benar terbangun dari kelalianku. Aku menyadari begitu banyak orang yang terluka karena sikap dan keegoisanku. Bahkan sahabatku sendiri menjadi korbannya. Aku membantu Moo Ri mengemas barang-barang Moo Ri. Aku baru mengetahui bahwa ibunya sakit dari pesan singkat yang dikirim oleh Soman. 

****1
            Kereta Api sudah melesatkan mesinnya di sepanjang rel, dengan gagahnya Soman datang mengetuk pintu. Dia tersenyum-senyum memandangku. Aku rasa hal buruk akan terjadi setelah ini. Dia akan memanfaatkan semua situasi ini untuk membujukku lagi. Sementara itu, Moo Ri sedang sibuk menghangatkan coklat. Memang Moo Ri sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu membuat aku merasa istimewa. Bahkan semenjak kami hidup bersama, masakan yang disajikannya tak pernah lepas dari menu Korea. Oleh karena itu, aku selalu merasa seperti berada di rumah.
            Setelah semua masakan siap disajikan, kami berbincang-bincang di ruang tamu. Ruangan menjadi sangat berisik karena perbincangan kami. Aku melihat kebahagian terpancar dari wajah Moo Ri. Melihat senyumannya membuat aku merasa ingin melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia. Misalnya mengembalikan kebahagian atau hidupnya yang sudah aku renggut dari dunianya. Dan yang kulakukan sekarang membuatnya kembali ke rumahnya. Rumah di mana seharusnya ia berada.
            Tepat pukul 10.00 kami segera pergi menuju bandara. Kebetulan bandara dan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Perjalanan akan terasa singkat dengan menempuh waktu berkisar sepuluh menit. Di mobil Soman memandangku. Dan melemparkan pertanyaan, mengapa aku tidak pergi juga. Aku melemparkan tatapan kejam ke arah bola matanya. Ia seolah sudah terbiasa dengan tatapan itu. Dia justru membuat aku semakin malu. Dia melemparkan “Aegyo“ menjijikannya. Moo Ri yang menyaksikan kejadian itu tertawa terbahak-bahak. Sekarang, sepertinya aku akan kalah dengan posisi ini. Dia terus menggodaku untuk pulang.
            “Jangan lupa hubungi aku setelah sampai.” Ucapku.
“Jangan terlambat untuk bangun pagi, ihat semua jadwalmu.” Singkatnya.
“Jaga baik-baik dirimu.” Ucap Soman.
“Jangan lengah.” (teriakku)
“Kau akan terus berteriak seperti itu, dia sudah pergi.” Soman menegurku dengan wajah keheranan.
            Aku menudukan kepala dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Soman mendekatiku dan mencoba menenangkanku. Dia tahu bahwa setelah perpisahan tadi. Aku akan menangis. Aku berbalik badan. Soman menjijikan dia memperlihatkan aegyonya lagi. Aku memukulnya dengan keras.
            Perjalanan pulang dari bandara, aku bertanya kepadanya kenapa dia tidak pulang. Dia menjawab bahwa dia akan pulang denganku. Aku memukul kepalanya karena aku pikir dia sedang melakukan lelucon. Dia justru membentakku untuk tidak melakukannya lagi. Dia berbicara dengan suara keras. Dia bilang aku seharusnya melupakan masa-masa terburuk, agar aku bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Aku tidak perlu melakukan hal ini untuk menghindari semua. Dia membuat aku merasa malu. Dan sangat menyedihkan.
            “Kau tidak harus pergi sejauh ini. Ha Neul. Kematian Hae Won bukanlah kesalahanmu. Mengapa kau terus bersembunyi. Bahkan kau tidak pernah berpikir waras. Semua orang yang hidup akan mati. Lalu apa gunanya kau bersembunyi untuk hal seperti ini. Kau bodoh.” Ucapnya dengan nada yang sedikit serius.
            Aku terdiam. Ucapannya sangat menyayat hati sekaligus membenarkan sebuah fakta. Fakta di mana aku adalah seorang yang selalu berlari dari kenyataan. Sikapku ini tak ubahnya layaknya seorang terdakwa. Aku merasa memang sangat menyedihkan sekali. Kematian memang sebuah takdir. Begitu pula dengan pertemuan dan perpisahan. Kematian Hae Won memang bukanlah kesalahanku. Itu semua sudah takdir. Semua orang harus menjalani takdirnya apapun yang akan terjadi. Seharusnya aku menghadapi semua itu. Tanganku bergetar, mengingat bahwa aku adalah manusia yang beruntung sekaligus pembawa kesialan terhadap orang lain.
            Di perjalanan pulang, Soman meminta maaf padaku. Dia tidak bermaksud mengatakan hal itu. Dia tidak ingin membuatku sedih. Dia mengajakku untuk pergi tapi aku menolaknya. Aku bilang bahwa aku lelah padahal. Dia melihatku dengan penuh kasih sayang. Dia sudah menganggapku sebagai adiknya. Dia tidak pernah memarahiku. Dia sudah berjanji pada Hae Won untuk menjaga dan melindungiku. Saat pemakaman Hae Won, dia orang yang tidak menangis. Dia bilang arwah Hae Won akan menertawakannya.
            Aku menutup pintu mobil dan meninggalkan Soman. Aku merasa semua yang dikatakannya benar. Aku berlari dengan cepat menuju kamar apartemenku. Aku bahkan lupa mengucapkan terima kasih kepada Soman. Aku membaringkan tubuh di atas kasur. Aku menjerit sekuat yang aku bisa. Aku memukul kaca dengan tanganku.
            “Kenapa kau melakukan ini semua? Kau. Siapa? Mengambil semua kebahagian. Hae Won, Moo Ri, Soman, Ayah, Ibu.” tiba-tiba teleponku berdering. Aku melihat pesan singkat dari Moo Ri.
Jangan menyalahkan dirimu. Semua akan baik-baik saja.
Dari Moo Ri
            Aku membuka sebuah kotak di bawah kasur. Aku mencari kunci kotak itu dan membukanya. Di dalam kotak itu masih terisi dengan kenangan-kenangan aku dan Hae Won. Foto kami dan sebuah surat dari Ibu Kim. Melihat semua kenangan di kotak itu membuat aku merasa lebih tenang.

                                                            ****2
    
            Hari demi hari aku lalui tanpa kehadiran Moo Ri, Soman datang ke apartemen hanya mengantarkan makanan untukku. Terkadang ia jga memasak untukku. Dia tahu bahwa aku sudah terbiasa dengan masakan Korea. Dia datang bukan untuk mengunjungiku. Dia datang untuk menjadi juru masak.
            Sudah hampir seminggu tanpa kehadiran Moo Ri. Aku pulang kerja hampir larut malam. Terkadang aku pulang pagi. Dan tak jarang aku mengambil tugas banyak di kantor untuk menghabiskan waktu tanpa Moo Ri.
            Aku tahu jika saat ini Soman sedang khawatir denganku. Ia terus mengirim pesan. Dia mengirimnya hampir setiap jam. Aku bahkan meninggalkan teleponku di kamar. Aku kira sudah saatnya kami berbaikan lagi.
            Saat pulang bekerja, aku melihat Soman di area parkir mobil menungguku. Aku melihat dia sangat gelisah. Aku menghampirinya. Dia mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangannya. Aku pikir ini saatnya kami berbicara.
            “Kau, tidak merindukannya? ” ucapnya
            “Sedikit, aku rasa.” jawabku
            “Maafkan aku. Seharusnya kalian tidak seperti ini.” Wajahnya terlihat sedih
            “Apa yang sedang kau katakan? Kau seperti orang yang bosan hidup.”
            “Aku benar-benar merasa buruk.”
            “Kau tahu, aku sangat bersyukur karena kalian kembar. Setidaknya aku bisa melihat dia dari tubuhyang lain.”
            “Bodoh. Itu akan lebih menyakitkan.”
            “Tidak. Ini lebih baik. Aku bisa merasakan kehadirannya. Aku tahu dia masih di sini (menunjuk hatinya). ”
            “Aku tidak tersentuh.”
            “Itu bukan untukmu bodoh.”
            “Apa yang kau lakukan besok? ”
            Soman terdiam. Aku meilhat wajahnya memancarkan sesuatu yang buruk. Semua itu terlihat jelas dari tatapan matanya. Dia banyak tersenyum padaku. Dia hanya memegang tanganku. Meskipun aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Tapi aku sangat berterima kasih karena dia menjagaku dengan baik. Malam itu kami habiskan waktu menatap bintang sambil melakukan beberapa lelucon lama.
                                               
****3

Lagi dan lagi, Soman datang telalu pagi. Aku bahkan muak sekali melihat dia setiap hari. tapi jika bukan dia, siapa lagi yang akan mengurus semua makananku. Dia terlihat seperti seorang juru masak yang ahli. Padahal dia adalah seorang dokter, tapi dia mahir sekali memainkan alat dapur. Seperti seorang yang sedang melakukan sirkus.
Di tempat lain aku pikir Ibu pasti menemui Moo Ri. Aku pikir memang ada yang aneh dengan semua tindakan Moo Ri. Terakhir kali aku mendengar bahwa ada kesepakatan baru di antara mereka.
Sementara itu di Seoul Moo Ri menemui Ibu Ha Neul di kantor. Kepulangan Moo Ri merupakan salah satu umpan terbaik yang bisa dilakukan oleh Ibu Ha Neul. Ternyata kabar tentang Ibu Moo Ri yang sedang sakit tidaklah benar. Moo Ri kembali ke Seoul untuk sesuatu yang rahasia.
“Sepertinya kau sehat,”
“Iya begitu Bu.”
“Apa dia belum berubah pikiran?”
“Sepertinya hatinya sangat sulit untuk diuluhkan.”
“Bisakah kau untuk tidak kembali ke Amerika? Aku akan menawarkan pekerjaan untukmu. Lagi pula jika kau di sini, dia akan kembali lebih awal.”
“Apakah hanya aku dan Soman yang tahu semua rencana ini?”
“Sebenarnya, iya. Kau benar-benar merahasiakannya bukan?”
“Benar. Aku sangat merahasiakannya.”
Moo Ri melihat kesedihan dari wajah Ibu Kim. Dia pasti merasa kesepian setelah bertahun-tahun kehilangan kedua putrinya. Siang itu, Moo Ri menandatangani kontrak baru dengan Ibu Kim. Dia merasa bahwa kesedihan putri keduanya itu terlalu menyayat hatinya. Kehilangan putri kembar bukanlah sesuau yang mudah. Bahkan sudah hampir empat tahun kematian Hae Won. 

                                                ****4
 Twins Of Soul by Chanie Lee 

Rabu, 30 November 2016

Potret Kehidupan Saman dalam Saman karya Ayu Utami





                            

A.    Biografi Pengarang
Ayu Utami  seorang novelis  terkenal  dengan gaya penulisan yang gamblang, terang-terangan terkait isu gender, seks dan irasionalitas. Lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan.
Saman adalah pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila tak Mampir ke New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Tahun 2001, lanjutannya terbit sebagai novel terpisah berjudul  Larung  yang merupakan dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.
Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam di Teater Utan Kayu. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Untuk mendapatkan ide bahan tulisan, menurut Ayu adalah dengan tertarik kepada orang lain. Karena menurutnya  kalau tertarik pada diri sendiri kita cepat kehabisan bahan. Namun, kalau tertarik kepada orang lain, mempelajari mereka, membaca mereka, niscaya akan punya banyak sekali bahan tulisan.
Mengenai keagamaan Ayu, ia dulu sangat religius. Keluarganya konservatif tapi membebaskan anaknya  menikah dengan beda agama asal tidak dengan komunis. Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya agama. Alasannya, ia menyebut lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antar agama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Agnostic, sebuah paham yang mempercayai keberadaan Tuhan namun tidak mempercayai ajaran agama manapun.
Ayu mulai melihat agama dengan kacamata baru sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, yakni agama, ketidakadilan, moralitas kelebihan, akhirnya membuat Ayu diperkirakan "terjebak" untuk selalu menulis tiga tema, yakni: seks, kegilaan dan agama. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab sangat berpengaruh pada dirinya. Meski membenci agama pada satu periode, namun  agama sudah batubata dalam dirinya. Itulah fakta yang tak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya. 


B.     Latar Belakang Kehidupan  dalam Novel Saman
Karya sastra tidak terlepas dari masyarakat. Dan oleh sebab itu sastra dianggap sebagai cerminan keadaan masyarakat. Sastra lahir dari proses imajinasi dari seorang pengarang, imajinasi timbul karena adanya fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Mengandung nilai-nilai yang erbungkus dalam imajinasi dan emosi penghayatan dari pengarang.
Novel Saman karya Ayu Utami menarasikan kehidupan masyarakat pada tahun 1998 yang sangat haus akan istilah demokrasi. Kehidupan masyarakat pada sekitar tahun 1998 yang  ingin bersuara dengan babas namun terbelenggu oleh batasan-batasan yang dibuat pemerintah. Sampai pecahlah reformasi yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, Namun juga turut mempengaruhi dunia sastra. Sehingga sejak saat itu masyarakat bebas berekspresi sesuai suara hati yang ingin diungkapkan, novel Saman karya Ayu Utami telah menggambarkan kebebasan mengungkapkan segala inspirasi dalam dirinya meskipun sampai kepada hal yang tabu. 

C.    Pemikiran Pengarang
Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai karir dalam kesusastraan Indonesia. Karyanya Saman yang telah mengulas hal-hal tabu yang dulunya masih sangat tidak pantas dijadikan karya sastra. Ayu Utami juga telah mempelopori kebebasan dalam mengekspresikan karya sastra. Hal ini disebabkan pandangan hidup seorang Ayu Utami yang bebas dan memiliki pikiran kritis terhadap pemerintah dan ia juga seorang Katolik yang taat agama membuat karyanya Saman banyak diwarnai oleh pemikiran yang luar biasa yang dituangkan secara terang-terangan.
Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah membicarakan realita-realita dan permasalahannya. Misalnya, moral yang mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah lakuNovel ini menceritakan moral yang mulai pudar pada zamannya. Hal ini terbukti pada kutipan berikut :

“Bagaimana, Sihar? Lambat sekali pekerjaan ini,” tegur Rosano seolah tak peduli kehadiran tamu-tamunya di antara mereka. (Saman, 2006: 10).

“Bagaimana, Sihar? Kami ingin pekerjaan ini cepat selesai.”
“Kami tak berani ulai sekarang. Risikonya cukup tinggi”
Rosano langsung membantah: “Sekali lagi, bukan tugas kamu memutuskan. Hubingi mud logger.” (Saman, 2006: 13-14).

Pendobrakan  moral melalui nilai-nilai seperti ini yang disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Contoh lain, misalnya seks. Seks yang dibahas novel Saman, di negara Timur pembicaraan tentang seks adalah sesuatu yang tabu untuk dikonsumsi oleh masyarakata khususnya oleh masyarakat Indonesia. Namun, dalam novel ini penulis mengungkapkan hal-hal yang tabu itu menjadi sesuatu yang biasa dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan cara pengungkapan yang berbeda dari penulis. Tidak hanya itu, penulis juga mengaitkan dengan fenomena masyarakat seperti hal-hal magic dan mistis. Seperti kutipan berikut:

        Di taman Firdaus ada seorang lelaki yang terkejut. Bulan di atasnya menggantung. (Bulan dan langit itu, kelak akan jadi satu-satunya keindahan yang tak kenal umur, kata seorang anak yang lahir di dunia keparat dikemudian hari.) Matahari belum tenggelam.
        Tetapi lelaki itu tekejut karena sebuah rusuknya hilang. Begitu kata bisikan Tuhan(Mungkin juga semua; ia belum belajar anatomi.) (Saman, 2006:191).

      Ketika Wis turun dari sepeda di samping rumah, inilah yang didengarnya; tangisan bayi dari jendela kamar ibunya di lantai dua. Ia menatap ke arah suara orok, yang jeritannya terpotong-potong. Sayup-sayup ia dengar Ibu menembang, tembang yang biasa mendamaikan hati Wis : lela lela ledhung....(Saman, 2006:49)

 Dalam novel tersebut juga memperlihatkan tokoh perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Seperti kutipan berikut:
“Vaginismus. Aku pernah dengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada seksualitasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di ekstrim lain.”
Laila tertawa keras-keras. Wah, bagaimana kalau ternyata aku juga trauma, ya? ”
        Aku tertawa juga. “Bayangkan kalau dia sudah susah payah curi-curi kesempatan lepas dari istrinya untuk kencan dengan kamu. Terus, kamu juga sudah kepingin. Tapi ternyata tidak bisa ditembus” (Saman, 2006: 126).

“Kau mencabuliku. Bagimu azab dan pedih!”
“Aku Cuma haus. Tuan, engkau tak pernah tahu artinya cabul. Engkau tak tahu artinya terbelenggu. Engkau tak tahu artinya pedih. Bahkan peluh.”
“Tapi aku bisa menentukannya untukmu.”
    Seekor pari yang melayang lewat meminjamkan ekornya untuk menyesah orang berdosa.
Lelaki itu telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di selangkangnya sebuah liang yang harum birahi. “Engkau dinamai perempuan karen diambil dari rusuk lelaki.” (Saman, 2006:193)


D.    Problematika Kehidupan dalam Novel Saman 
Novel Saman karya Ayu Utami menceritakan mengenai isu seksualitas, ketuhanan dan irasionalitas. Isu seksualitas digambarkan melalui tokoh laki-laki. Isu seks digambarkan melalui tokoh wanita. Sedangkan isu irasionalitas digambarkan dengan sesuatu yang berasal di luar akal sehat. Seperti tokoh Upi dan Ibu Saman yang memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain. Tokoh wanita lebih menonjolkan masalah gender, kegelisahan seksual. Sedangkan tokoh laki-laki cenderung menggambarkan perjuangan politik dan keadilan.
Hampir semua tokoh wanita dalam novel ini dinarasikan sudah berhubungan seks di luar nikah. Ataupun sudah mencicipi manisnya seksualitas dengan lawan jenisnya. Misalnya tokoh Laila yang terlibat cinta dengan Sihar. Mereka bertemu di pertambangan ketika Lila meliput berita. Kutipan:
“Lalu harus bagaimana, dong?”
“Saya ledakan kepalanya.”
Sihar apakah kamu sudah gila? Kamu betul-betul membikin saya ketakutan. Mungkinkah ini Cuma marah saja?
“Apa salahnya usul saya dicoba? Saya punya teman pengacara. Dia pasti mau bantu. Paling tidak, kalau kita bikin tekanan, Texcoil harus mengeluarkan uang lebih .....” (Saman, 2006: 21-22)

Kisah lain datang dari Yasmin, dalam narasi ia menanggalkan keperawanan sebelum menikah. Padahal Yasmin paling alim diantara mereka. Seperti pada kutipan berikut:
Jakarta, 12 Juni 1994
Saman,
Aku terkena aloeretisme. Bersetubuh dengan lukas tetapi membayangkan kamu. Ia bertanya-tanya, kenapa sekarang aku semakin sering minta agar lampu dimatikan. Sebab yang aku bayangkan adalah wajah kamu, tubuh kamu. (Saman, 2006: 194).

E.     Kritik Pengarang
Novel Saman karya Ayu Utami muncul pada tahun 1998, karena pada masa itu telah runtuh rezim Orde Baru yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat tabu.
Novel Saman tidak hanya menggambarkan tentang seksualitas saja. Tetapi ada unsur kehidupan lain yang digambarkan oleh Ayu Utami pada masa runtuhnya rezim Orde Baru antara lain:
1)      Kehidupan Sosial
Dalam novel tersebut tampak kehidupan sosial masyarakat yang mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Kesejahteraan masyarakat sangat buruk dan memperihatinkan dalam bidang kesehatan. Dalam novel tersebut digambarkan melalui tokoh perempuan bernama Upi yang mengalami keterbelakangan mental dari kehidupannya. Hal itu menyebabkan ia menjadi terasingkan. Kemiskinan Argani, Ibu Upi membuat anaknya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tidak adanya bantuan pemerintah membuat Upi hidup dia menciptakan dunia sendiri. Saat berbicara ia menggunakan bahasa yang tak diketahui orang lain.
Perhatikan kutipan berikut:
“Di Bantargerbang manusia hidup bersama sampah-sampah Jakarta yang kaya da rakus, dan orang-orang gila bisa berjalan-jalan di Taman Suropati yang rapih dan teduh. Tetapi hanya tujuh puluh kilometer dari kota minyak Perabumulih, seorang gadis teraniaya, bukan sebagai ekses keserakahan melainkan karena orang-orang tak mampu mencapai kemodernan”(Saman, 2006: 73).

2)      Kondisi Politik
Di dalam novel digambarkan kondisi politik yang dikuasai oleh pemerintah. Salah satu kota yang menjadi gambaran kekuasaan politik adalah Palembang. Karena pada pemerintahan Orde Baru, banyak penduduk transmigrasi dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Palembang sebagai salah satu kota yang menerima transmigrasi. Perhatikan kutipan berikut :
“Menurut SK beliau beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan kelapa sawit. Perusaahan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok keluar jendela, dan menoleh lagi pada Anson.” Kami melihat bahwa dusun ini saja yang belum pernah patuh untuk menendatangani kesepakatan perusahaan.” (Saman, 2006:90)
Dalam situasi tersebut penduduk transmigrasi yang berprofesi sebagai petani kecil dipaksa untuk mengganti karet dengan kelapa sawit. Karena pohon karet mereka sudah besar, dan lapuk serta ditumbuhi jamur Rigidoporus Lignosus. Namun, para penduduk dusun Lubukrantau tidak ingin menggantinya sebab butuh bertahun-tahun untuk bisa menikmati hasil kebun kelapa sawit. Selain itu, dengan bantuan Wis mereka bisa mengatasi masalah kebun karet itu. Sekarang  kebun karet mereka tumbuh subur dan mereka juga sudah mengangsur hutang. Alasan kuat penolakan mereka adalah transmigrasi dibuka  pemerintah untuk petani. Sehingga mereka sebagai penduduk transmigrasi bisa bebas menanam apa yang mereka mau tanpa adanya campur tangan pemerintah. 
Sebagai akibatnya mereka menerima berbagai macam teror yang terjadi di dusun Lubukrantau. Berawal dari buldozer yang merobohkan pohon-pohon karet, pohon karet muda yang diterjang celeng, jalur kendaraan yang dihalangi, kincir dirusak dan Upi diperkosa. Hal ini membuat para penduduk naik pitam. Dan sebagai umpan balik. Mereka membakar pos polisi penjaga kebun yang dijadikan tempat  penyekapan Wis.
3)      Kondisi Agama
Novel Saman karya Ayu Utami didominasi oleh gambaran Agama Katolik. Dalam gereja Katolik, Requiem atau Misa Requiem atau dikenal juga dengan Misa Arwah (Latin: Missa pro defunctis) misa kudus bagi kedamaian kekal jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal. Misa Requiem sering dilakukan pada saat prosesi pemakaman seseorang. Istilah ini juga digunakan di luar Gereja Katolik khususnya dalam gereja Anglikan dan gereja Lutheran. Paroki adalah komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam Keuskupan (Gereja Partikular). Para pemuka agama Katolik memiliki hierarki sebagai berikut: romo/pastur – uskup – kardinal – paus. Pada novel tersebut Wis berada di tingkatan atau hierarki romo/pastur dan gereja paroki (tempat kedudukan pastur), hal ini terbukti pada kutipan berikut:
“Sepanjang malam itu Sudoyo mendekap isterinya di dadanya. Keringatnya mengalir seperti butir-butir darah. Misa arwah ketiga diadakan setelah keluarga itu puas menatapi bayi yang mati, sehari semalam. Itu merupakan misa requiem pertama mereka dengan jenazah. Tersimpan dalam peti mungil di atas meja tamu, peti kayu kecil seperti kotak musik Eropa abad lampau, yang kemudian dibawa oleh mobil hitam untuk ditanam dalam-dalam di tanah makam. Requiem. Requiem aeternam In paradisum deducant te angeli.”(Saman, 2006: 57).

Simpulan
Meski telah membaca novel ini dengan tuntas. Sangat sulit untuk mengkaji makna yang tersirat. Dengan mengambil latar sosial pada masa tumbangnya Orde Baru. Novel ini seakan menjadi ungkapan penulis atas pemberontakan terhadap rezim Soeharto dan penepisan gender wanita yang terpinggir dari laki-laki. Selain itu, narasi bagian akhir mengenai isu ketuhanan sangat sulit untuk dipahami.
Saman hadir dalam kontroversi terkait vulgaritasnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pandangan masyarakat timur sangat menentang unsur vulgaritas dalam novel, karena masyarakat timur memiliki aturan adat yang kuat. Namun, Saman, begitu jelas membicarakan organ tubuh wanita yang paling intim serta membicarakan masalah seksual, khususnya pada bagian tokoh-tokoh wanita. Potret seksualitas inilah yang menceritakan kehidupan Saman dalam Novel Saman. Topik utama memiliki gambaran-gambaran makna yang tersirat disampaikan oleh pengarang.

  Ayan Menikahi Radha, Bagaimana Nasib Krishna? Perjalanan Cinta Radha Krishna masih berlanjut. Walaupun Radha telah menikah dengan Ayan, ...