Jumat, 25 Agustus 2017

Apa yang membuatmu kembali ?



Apa yang membuatmu kembali ?

            Sampai sekarang aku belum pernah berpikir untuk pulang ke rumah. Memang terkadang aku merindukan suasana rumah. Suasana yang sudah terpendam lama dalam ingatanku. Tapi mengingat semua yang pernah aku alami membuat aku takut untuk kembali. Jika aku punya waktu, aku akan pulang untuk bertemu dengan keluargaku.
New York, di sini aku ditemani sahabatku, Moo Ri. Kami sudah lama hidup bersama, tepatnya sejak aku meninggalkan Seoul. Dia orang yang menarik,  senang sekali bercanda. Ia suka memainkan lelucon lama, sebenarnya leluconnya tidak terlalu menarik, namun ekspresi wajahnya membuat aku tak bisa menahan tawa.
            Hari itu, kami bertemu di sebuah kafe. Kami duduk menghadap ke arah jalan, dia membuka percakapan. Meskipun aku sudah tahu apa yang ingin disampaikannya, namun aku berpura-pura tidak tahu. Tangan mungilnya memegang cangkir kopi sambil memejamkan mata. Ia seperti sedang merasakan sesuatu yang membuatnya hangat.
            “New York,” ucapnya sambil menggenggam secangkir kopi.
            “Kau sedang menghangatkan diri dengan secangkir kopi.” Sahutku.
            “Hey,, apakah kau tidak merindukan rumah? Sudah dua tahun kita tidak pulang.” Gelagaknya menggodaku.
            Aku terdiam dengan ucapannya itu. Dia seolah memberiku umpan untuk menunjukan pernyataan terdalam dari ingatanku. Dia tak pernah berhenti untuk membujukku kembali ke rumah. Namun, tak satupun usahanya yang berhasil menaklukan hatiku. Aku tidak pernah mendengarkannya. Meskipun ia selalu membahas semua tentang Seoul dan Busan. Hampir setiap hari ia selalu mengatakan hal yang sama “Seoul, Bogosipda.”
            Aku selalu diam menutup telinga atau bahkan menghiraukan semua ucapannya. Aku tidak mau memperpanjang percakapan itu. Percakapan yang segera aku sudahi dengan mengajaknya pulang ke apartemen. Matahari sudah membalikan badannya, jalanan dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu. Moo Ri menggandeng tanganku dengan erat.
Ketika perjalanan kami baru sampai di bawah lampu trotoar, tiba-tiba seseorang datang menghampiri kami. Lee Soo Man, kami memanggilnya dengan sebutan “So Man”, yang artinya laki-laki sejati. Dia adalah teman kemanan kami selama berada di luar negeri. Tubuhnya sangat idealis seperti tubuh model kebanyakan. Kelakarnya tak ada ubahnya seperti Moo Ri. Selalu membuat lelucon namun tidak pernah menarik.
Tiba-tiba dia berbisik dengan Moo Ri. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak biasanya dia melakukan itu. Aku menepuk bahunya.
            “Yakkk..... kau !!! ” bentak ku.
            “Apa?? Kau cemburu? Maaf kalau begitu.” Menggodaku dengan wajah tak bersalahnya.
            “Hanya wanita bodoh yang merasakan cemburu seperti itu.” Jawabku tegas.
            “Kau,,,, tidakkah itu terlalu menyakitkan.” Menatapku dengan tajam.
            “Tidak, itu sedikit menghiburku.” Aku tersenyum.
            “Hentikan. Ini sudah larut. Sebaiknya kita segera pulang.” Tangkas Moo Ri
            Aku masih penasaran dengan bisikan itu. Rasa penasaranku membuat aku menatap raut wajah Moo Ri. Aku melihat sesuatu yang buruk sudah mengganggu pikirannya. Dia menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan ke rumah. Meskipun tangan kami bergandengansangat erat,  tapi rasanya pikiran kami sedang berpisah. Bisa jadi pikirannya berada di Seoul, nyawanya sedang bersamaku.
            Sesampainya di apartemen, dia berlari ke kamar. Aku melihat dia mengunci pintu kamarnya. Dia meninggalkan aku begitu saja. Padahal biasanya kami menghabiskan malam dengan memakan beberapa donat. Tetapi tidak untuk malam ini. Malam ini dia tidur lebih awal.
Aku mengganti baju kemudian kembali ke ruang tamu. Duduk sendirian di ruang tamu membuat aku merasa kesepian. Aku coba mengetuk pintu kamarnya. Satu dua kali aku ketuk, tak ada jawaban. Kemudian aku berbalik badan, tiba-tiba dia memelukku dari belakang. Dan aku mendengar suaranya yang terisak-isak. Aku mengajaknya duduk di ruang tamu. Aku berusaha membuatnya tenang.
Aku membiarkannya menangis. Hampir lima belas menit ia menangis. Kemudian dia membuka percakapan dengan nada sendunya. Dia menceritakan semua kronologinya. Dan aku hanya terdiam. Aku berpikir bahwa aku terlalu egois. Sampai-sampai membuat seseorang menangis dan terluka. Aku tidak pernah berpikir sejauh ini. Ternyata dia benar-benar ingin pulang.
            “Maafkan aku sudah membuatmu khawatir.” nada suaranya menurun.
            “Tidak. Aku yang harusnya meminta maaf padamu. Maaf jika ini semua salahku. Aku yang memintamu untuk tinggal bersamaku. Maaf jika aku sudah memisahkanmu dengan kedua orangtuamu. Jika kau ingin pulang. Pulanglah.” Dengan tegas aku ucapkan.
            “Bagaimana denganmu?” sembari menatap wajahku.
            “Aku? Aku akan baik-baik saja.” Aku berusaha meyakinkannya.
            Dia terus mengucapkan maaf. Seharusnya akulah yang menangis seperti itu. Aku sudah membawanya masuk ke dalam duniaku. Aku menyuruh Moo Ri untuk pulang. Dan sebagai permintaan maaf, aku mengurus tiket pesawat untuknya. Malam itu, aku benar-benar terbangun dari kelalianku. Aku menyadari begitu banyak orang yang terluka karena sikap dan keegoisanku. Bahkan sahabatku sendiri menjadi korbannya. Aku membantu Moo Ri mengemas barang-barang Moo Ri. Aku baru mengetahui bahwa ibunya sakit dari pesan singkat yang dikirim oleh Soman. 

****1
            Kereta Api sudah melesatkan mesinnya di sepanjang rel, dengan gagahnya Soman datang mengetuk pintu. Dia tersenyum-senyum memandangku. Aku rasa hal buruk akan terjadi setelah ini. Dia akan memanfaatkan semua situasi ini untuk membujukku lagi. Sementara itu, Moo Ri sedang sibuk menghangatkan coklat. Memang Moo Ri sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu membuat aku merasa istimewa. Bahkan semenjak kami hidup bersama, masakan yang disajikannya tak pernah lepas dari menu Korea. Oleh karena itu, aku selalu merasa seperti berada di rumah.
            Setelah semua masakan siap disajikan, kami berbincang-bincang di ruang tamu. Ruangan menjadi sangat berisik karena perbincangan kami. Aku melihat kebahagian terpancar dari wajah Moo Ri. Melihat senyumannya membuat aku merasa ingin melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia. Misalnya mengembalikan kebahagian atau hidupnya yang sudah aku renggut dari dunianya. Dan yang kulakukan sekarang membuatnya kembali ke rumahnya. Rumah di mana seharusnya ia berada.
            Tepat pukul 10.00 kami segera pergi menuju bandara. Kebetulan bandara dan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Perjalanan akan terasa singkat dengan menempuh waktu berkisar sepuluh menit. Di mobil Soman memandangku. Dan melemparkan pertanyaan, mengapa aku tidak pergi juga. Aku melemparkan tatapan kejam ke arah bola matanya. Ia seolah sudah terbiasa dengan tatapan itu. Dia justru membuat aku semakin malu. Dia melemparkan “Aegyo“ menjijikannya. Moo Ri yang menyaksikan kejadian itu tertawa terbahak-bahak. Sekarang, sepertinya aku akan kalah dengan posisi ini. Dia terus menggodaku untuk pulang.
            “Jangan lupa hubungi aku setelah sampai.” Ucapku.
“Jangan terlambat untuk bangun pagi, ihat semua jadwalmu.” Singkatnya.
“Jaga baik-baik dirimu.” Ucap Soman.
“Jangan lengah.” (teriakku)
“Kau akan terus berteriak seperti itu, dia sudah pergi.” Soman menegurku dengan wajah keheranan.
            Aku menudukan kepala dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Soman mendekatiku dan mencoba menenangkanku. Dia tahu bahwa setelah perpisahan tadi. Aku akan menangis. Aku berbalik badan. Soman menjijikan dia memperlihatkan aegyonya lagi. Aku memukulnya dengan keras.
            Perjalanan pulang dari bandara, aku bertanya kepadanya kenapa dia tidak pulang. Dia menjawab bahwa dia akan pulang denganku. Aku memukul kepalanya karena aku pikir dia sedang melakukan lelucon. Dia justru membentakku untuk tidak melakukannya lagi. Dia berbicara dengan suara keras. Dia bilang aku seharusnya melupakan masa-masa terburuk, agar aku bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Aku tidak perlu melakukan hal ini untuk menghindari semua. Dia membuat aku merasa malu. Dan sangat menyedihkan.
            “Kau tidak harus pergi sejauh ini. Ha Neul. Kematian Hae Won bukanlah kesalahanmu. Mengapa kau terus bersembunyi. Bahkan kau tidak pernah berpikir waras. Semua orang yang hidup akan mati. Lalu apa gunanya kau bersembunyi untuk hal seperti ini. Kau bodoh.” Ucapnya dengan nada yang sedikit serius.
            Aku terdiam. Ucapannya sangat menyayat hati sekaligus membenarkan sebuah fakta. Fakta di mana aku adalah seorang yang selalu berlari dari kenyataan. Sikapku ini tak ubahnya layaknya seorang terdakwa. Aku merasa memang sangat menyedihkan sekali. Kematian memang sebuah takdir. Begitu pula dengan pertemuan dan perpisahan. Kematian Hae Won memang bukanlah kesalahanku. Itu semua sudah takdir. Semua orang harus menjalani takdirnya apapun yang akan terjadi. Seharusnya aku menghadapi semua itu. Tanganku bergetar, mengingat bahwa aku adalah manusia yang beruntung sekaligus pembawa kesialan terhadap orang lain.
            Di perjalanan pulang, Soman meminta maaf padaku. Dia tidak bermaksud mengatakan hal itu. Dia tidak ingin membuatku sedih. Dia mengajakku untuk pergi tapi aku menolaknya. Aku bilang bahwa aku lelah padahal. Dia melihatku dengan penuh kasih sayang. Dia sudah menganggapku sebagai adiknya. Dia tidak pernah memarahiku. Dia sudah berjanji pada Hae Won untuk menjaga dan melindungiku. Saat pemakaman Hae Won, dia orang yang tidak menangis. Dia bilang arwah Hae Won akan menertawakannya.
            Aku menutup pintu mobil dan meninggalkan Soman. Aku merasa semua yang dikatakannya benar. Aku berlari dengan cepat menuju kamar apartemenku. Aku bahkan lupa mengucapkan terima kasih kepada Soman. Aku membaringkan tubuh di atas kasur. Aku menjerit sekuat yang aku bisa. Aku memukul kaca dengan tanganku.
            “Kenapa kau melakukan ini semua? Kau. Siapa? Mengambil semua kebahagian. Hae Won, Moo Ri, Soman, Ayah, Ibu.” tiba-tiba teleponku berdering. Aku melihat pesan singkat dari Moo Ri.
Jangan menyalahkan dirimu. Semua akan baik-baik saja.
Dari Moo Ri
            Aku membuka sebuah kotak di bawah kasur. Aku mencari kunci kotak itu dan membukanya. Di dalam kotak itu masih terisi dengan kenangan-kenangan aku dan Hae Won. Foto kami dan sebuah surat dari Ibu Kim. Melihat semua kenangan di kotak itu membuat aku merasa lebih tenang.

                                                            ****2
    
            Hari demi hari aku lalui tanpa kehadiran Moo Ri, Soman datang ke apartemen hanya mengantarkan makanan untukku. Terkadang ia jga memasak untukku. Dia tahu bahwa aku sudah terbiasa dengan masakan Korea. Dia datang bukan untuk mengunjungiku. Dia datang untuk menjadi juru masak.
            Sudah hampir seminggu tanpa kehadiran Moo Ri. Aku pulang kerja hampir larut malam. Terkadang aku pulang pagi. Dan tak jarang aku mengambil tugas banyak di kantor untuk menghabiskan waktu tanpa Moo Ri.
            Aku tahu jika saat ini Soman sedang khawatir denganku. Ia terus mengirim pesan. Dia mengirimnya hampir setiap jam. Aku bahkan meninggalkan teleponku di kamar. Aku kira sudah saatnya kami berbaikan lagi.
            Saat pulang bekerja, aku melihat Soman di area parkir mobil menungguku. Aku melihat dia sangat gelisah. Aku menghampirinya. Dia mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangannya. Aku pikir ini saatnya kami berbicara.
            “Kau, tidak merindukannya? ” ucapnya
            “Sedikit, aku rasa.” jawabku
            “Maafkan aku. Seharusnya kalian tidak seperti ini.” Wajahnya terlihat sedih
            “Apa yang sedang kau katakan? Kau seperti orang yang bosan hidup.”
            “Aku benar-benar merasa buruk.”
            “Kau tahu, aku sangat bersyukur karena kalian kembar. Setidaknya aku bisa melihat dia dari tubuhyang lain.”
            “Bodoh. Itu akan lebih menyakitkan.”
            “Tidak. Ini lebih baik. Aku bisa merasakan kehadirannya. Aku tahu dia masih di sini (menunjuk hatinya). ”
            “Aku tidak tersentuh.”
            “Itu bukan untukmu bodoh.”
            “Apa yang kau lakukan besok? ”
            Soman terdiam. Aku meilhat wajahnya memancarkan sesuatu yang buruk. Semua itu terlihat jelas dari tatapan matanya. Dia banyak tersenyum padaku. Dia hanya memegang tanganku. Meskipun aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Tapi aku sangat berterima kasih karena dia menjagaku dengan baik. Malam itu kami habiskan waktu menatap bintang sambil melakukan beberapa lelucon lama.
                                               
****3

Lagi dan lagi, Soman datang telalu pagi. Aku bahkan muak sekali melihat dia setiap hari. tapi jika bukan dia, siapa lagi yang akan mengurus semua makananku. Dia terlihat seperti seorang juru masak yang ahli. Padahal dia adalah seorang dokter, tapi dia mahir sekali memainkan alat dapur. Seperti seorang yang sedang melakukan sirkus.
Di tempat lain aku pikir Ibu pasti menemui Moo Ri. Aku pikir memang ada yang aneh dengan semua tindakan Moo Ri. Terakhir kali aku mendengar bahwa ada kesepakatan baru di antara mereka.
Sementara itu di Seoul Moo Ri menemui Ibu Ha Neul di kantor. Kepulangan Moo Ri merupakan salah satu umpan terbaik yang bisa dilakukan oleh Ibu Ha Neul. Ternyata kabar tentang Ibu Moo Ri yang sedang sakit tidaklah benar. Moo Ri kembali ke Seoul untuk sesuatu yang rahasia.
“Sepertinya kau sehat,”
“Iya begitu Bu.”
“Apa dia belum berubah pikiran?”
“Sepertinya hatinya sangat sulit untuk diuluhkan.”
“Bisakah kau untuk tidak kembali ke Amerika? Aku akan menawarkan pekerjaan untukmu. Lagi pula jika kau di sini, dia akan kembali lebih awal.”
“Apakah hanya aku dan Soman yang tahu semua rencana ini?”
“Sebenarnya, iya. Kau benar-benar merahasiakannya bukan?”
“Benar. Aku sangat merahasiakannya.”
Moo Ri melihat kesedihan dari wajah Ibu Kim. Dia pasti merasa kesepian setelah bertahun-tahun kehilangan kedua putrinya. Siang itu, Moo Ri menandatangani kontrak baru dengan Ibu Kim. Dia merasa bahwa kesedihan putri keduanya itu terlalu menyayat hatinya. Kehilangan putri kembar bukanlah sesuau yang mudah. Bahkan sudah hampir empat tahun kematian Hae Won. 

                                                ****4
 Twins Of Soul by Chanie Lee 

  Ayan Menikahi Radha, Bagaimana Nasib Krishna? Perjalanan Cinta Radha Krishna masih berlanjut. Walaupun Radha telah menikah dengan Ayan, ...