Apa yang
membuatmu kembali ?
Sampai sekarang aku belum pernah berpikir untuk pulang ke
rumah. Memang terkadang aku merindukan suasana rumah. Suasana yang sudah
terpendam lama dalam ingatanku. Tapi mengingat semua yang pernah aku alami
membuat aku takut untuk kembali. Jika aku punya waktu, aku akan pulang untuk
bertemu dengan keluargaku.
New
York, di sini aku ditemani sahabatku, Moo Ri. Kami sudah lama hidup bersama, tepatnya
sejak aku meninggalkan Seoul. Dia orang yang menarik, senang sekali bercanda. Ia suka memainkan
lelucon lama, sebenarnya leluconnya tidak terlalu menarik, namun ekspresi
wajahnya membuat aku tak bisa menahan tawa.
Hari itu, kami bertemu di sebuah kafe. Kami duduk menghadap
ke arah jalan, dia membuka percakapan. Meskipun aku sudah tahu apa yang ingin
disampaikannya, namun aku berpura-pura tidak tahu. Tangan mungilnya memegang
cangkir kopi sambil memejamkan mata. Ia seperti sedang merasakan sesuatu yang
membuatnya hangat.
“New York,” ucapnya sambil menggenggam secangkir kopi.
“Kau sedang menghangatkan diri dengan secangkir kopi.”
Sahutku.
“Hey,, apakah kau tidak merindukan rumah? Sudah dua tahun
kita tidak pulang.” Gelagaknya menggodaku.
Aku terdiam dengan ucapannya itu. Dia seolah memberiku
umpan untuk menunjukan pernyataan terdalam dari ingatanku. Dia tak pernah
berhenti untuk membujukku kembali ke rumah. Namun, tak satupun usahanya yang
berhasil menaklukan hatiku. Aku tidak pernah mendengarkannya. Meskipun ia
selalu membahas semua tentang Seoul dan Busan. Hampir setiap hari ia selalu
mengatakan hal yang sama “Seoul, Bogosipda.”
Aku selalu diam menutup telinga atau bahkan menghiraukan
semua ucapannya. Aku tidak mau memperpanjang percakapan itu. Percakapan yang
segera aku sudahi dengan mengajaknya pulang ke apartemen. Matahari sudah
membalikan badannya, jalanan dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu. Moo Ri
menggandeng tanganku dengan erat.
Ketika
perjalanan kami baru sampai di bawah lampu trotoar, tiba-tiba seseorang datang
menghampiri kami. Lee Soo Man, kami memanggilnya dengan sebutan “So Man”, yang artinya laki-laki sejati.
Dia adalah teman kemanan kami selama berada di luar negeri. Tubuhnya sangat
idealis seperti tubuh model kebanyakan. Kelakarnya tak ada ubahnya seperti Moo
Ri. Selalu membuat lelucon namun tidak pernah menarik.
Tiba-tiba
dia berbisik dengan Moo Ri. Aku merasa ada sesuatu yang aneh. Tidak biasanya
dia melakukan itu. Aku menepuk bahunya.
“Yakkk..... kau !!! ” bentak ku.
“Apa?? Kau cemburu? Maaf kalau begitu.” Menggodaku dengan
wajah tak bersalahnya.
“Hanya wanita bodoh yang merasakan cemburu seperti itu.”
Jawabku tegas.
“Kau,,,, tidakkah itu terlalu menyakitkan.” Menatapku
dengan tajam.
“Tidak, itu sedikit menghiburku.” Aku tersenyum.
“Hentikan. Ini sudah larut. Sebaiknya kita segera
pulang.” Tangkas Moo Ri
Aku masih penasaran dengan bisikan itu. Rasa penasaranku
membuat aku menatap raut wajah Moo Ri. Aku melihat sesuatu yang buruk sudah
mengganggu pikirannya. Dia menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan ke rumah.
Meskipun tangan kami bergandengansangat erat, tapi rasanya pikiran kami sedang berpisah.
Bisa jadi pikirannya berada di Seoul, nyawanya sedang bersamaku.
Sesampainya di apartemen, dia berlari ke kamar. Aku
melihat dia mengunci pintu kamarnya. Dia meninggalkan aku begitu saja. Padahal
biasanya kami menghabiskan malam dengan memakan beberapa donat. Tetapi tidak
untuk malam ini. Malam ini dia tidur lebih awal.
Aku
mengganti baju kemudian kembali ke ruang tamu. Duduk sendirian di ruang tamu
membuat aku merasa kesepian. Aku coba mengetuk pintu kamarnya. Satu dua kali
aku ketuk, tak ada jawaban. Kemudian aku berbalik badan, tiba-tiba dia
memelukku dari belakang. Dan aku mendengar suaranya yang terisak-isak. Aku
mengajaknya duduk di ruang tamu. Aku berusaha membuatnya tenang.
Aku
membiarkannya menangis. Hampir lima belas menit ia menangis. Kemudian dia
membuka percakapan dengan nada sendunya. Dia menceritakan semua kronologinya.
Dan aku hanya terdiam. Aku berpikir bahwa aku terlalu egois. Sampai-sampai
membuat seseorang menangis dan terluka. Aku tidak pernah berpikir sejauh ini.
Ternyata dia benar-benar ingin pulang.
“Maafkan aku sudah membuatmu khawatir.” nada suaranya
menurun.
“Tidak. Aku yang harusnya meminta maaf padamu. Maaf jika
ini semua salahku. Aku yang memintamu untuk tinggal bersamaku. Maaf jika aku
sudah memisahkanmu dengan kedua orangtuamu. Jika kau ingin pulang. Pulanglah.”
Dengan tegas aku ucapkan.
“Bagaimana denganmu?” sembari menatap wajahku.
“Aku? Aku akan baik-baik saja.” Aku berusaha
meyakinkannya.
Dia terus mengucapkan maaf. Seharusnya akulah yang
menangis seperti itu. Aku sudah membawanya masuk ke dalam duniaku. Aku menyuruh
Moo Ri untuk pulang. Dan sebagai permintaan maaf, aku mengurus tiket pesawat
untuknya. Malam itu, aku benar-benar terbangun dari kelalianku. Aku menyadari
begitu banyak orang yang terluka karena sikap dan keegoisanku. Bahkan sahabatku
sendiri menjadi korbannya. Aku membantu Moo Ri mengemas barang-barang Moo Ri.
Aku baru mengetahui bahwa ibunya sakit dari pesan singkat yang dikirim oleh
Soman.
****1
Kereta Api sudah melesatkan mesinnya di sepanjang rel,
dengan gagahnya Soman datang mengetuk pintu. Dia tersenyum-senyum memandangku.
Aku rasa hal buruk akan terjadi setelah ini. Dia akan memanfaatkan semua
situasi ini untuk membujukku lagi. Sementara itu, Moo Ri sedang sibuk
menghangatkan coklat. Memang Moo Ri sudah seperti kakakku sendiri. Dia selalu
membuat aku merasa istimewa. Bahkan semenjak kami hidup bersama, masakan yang
disajikannya tak pernah lepas dari menu Korea. Oleh karena itu, aku selalu
merasa seperti berada di rumah.
Setelah semua masakan siap disajikan, kami berbincang-bincang
di ruang tamu. Ruangan menjadi sangat berisik karena perbincangan kami. Aku
melihat kebahagian terpancar dari wajah Moo Ri. Melihat senyumannya membuat aku
merasa ingin melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia. Misalnya mengembalikan
kebahagian atau hidupnya yang sudah aku renggut dari dunianya. Dan yang
kulakukan sekarang membuatnya kembali ke rumahnya. Rumah di mana seharusnya ia
berada.
Tepat pukul 10.00 kami segera pergi menuju bandara.
Kebetulan bandara dan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Perjalanan akan
terasa singkat dengan menempuh waktu berkisar sepuluh menit. Di mobil Soman
memandangku. Dan melemparkan pertanyaan, mengapa aku tidak pergi juga. Aku melemparkan
tatapan kejam ke arah bola matanya. Ia seolah sudah terbiasa dengan tatapan
itu. Dia justru membuat aku semakin malu. Dia melemparkan “Aegyo“
menjijikannya. Moo Ri yang menyaksikan kejadian itu tertawa terbahak-bahak.
Sekarang, sepertinya aku akan kalah dengan posisi ini. Dia terus menggodaku
untuk pulang.
“Jangan lupa hubungi aku setelah sampai.” Ucapku.
“Jangan
terlambat untuk bangun pagi, ihat semua jadwalmu.” Singkatnya.
“Jaga
baik-baik dirimu.” Ucap Soman.
“Jangan
lengah.” (teriakku)
“Kau
akan terus berteriak seperti itu, dia sudah pergi.” Soman menegurku dengan
wajah keheranan.
Aku menudukan kepala dan menutupi wajahku dengan kedua
tanganku. Soman mendekatiku dan mencoba menenangkanku. Dia tahu bahwa setelah
perpisahan tadi. Aku akan menangis. Aku berbalik badan. Soman menjijikan dia
memperlihatkan aegyonya lagi. Aku memukulnya dengan keras.
Perjalanan pulang dari bandara, aku bertanya kepadanya
kenapa dia tidak pulang. Dia menjawab bahwa dia akan pulang denganku. Aku
memukul kepalanya karena aku pikir dia sedang melakukan lelucon. Dia justru
membentakku untuk tidak melakukannya lagi. Dia berbicara dengan suara keras.
Dia bilang aku seharusnya melupakan masa-masa terburuk, agar aku bisa menjalani
kehidupan yang lebih baik. Aku tidak perlu melakukan hal ini untuk menghindari
semua. Dia membuat aku merasa malu. Dan sangat menyedihkan.
“Kau tidak harus pergi sejauh ini. Ha Neul. Kematian Hae
Won bukanlah kesalahanmu. Mengapa kau terus bersembunyi. Bahkan kau tidak
pernah berpikir waras. Semua orang yang hidup akan mati. Lalu apa gunanya kau
bersembunyi untuk hal seperti ini. Kau bodoh.” Ucapnya dengan nada yang sedikit
serius.
Aku terdiam. Ucapannya sangat menyayat hati sekaligus
membenarkan sebuah fakta. Fakta di mana aku adalah seorang yang selalu berlari
dari kenyataan. Sikapku ini tak ubahnya layaknya seorang terdakwa. Aku merasa
memang sangat menyedihkan sekali. Kematian memang sebuah takdir. Begitu pula
dengan pertemuan dan perpisahan. Kematian Hae Won memang bukanlah kesalahanku.
Itu semua sudah takdir. Semua orang harus menjalani takdirnya apapun yang akan
terjadi. Seharusnya aku menghadapi semua itu. Tanganku bergetar, mengingat bahwa
aku adalah manusia yang beruntung sekaligus pembawa kesialan terhadap orang
lain.
Di perjalanan pulang, Soman meminta maaf padaku. Dia
tidak bermaksud mengatakan hal itu. Dia tidak ingin membuatku sedih. Dia
mengajakku untuk pergi tapi aku menolaknya. Aku bilang bahwa aku lelah padahal.
Dia melihatku dengan penuh kasih sayang. Dia sudah menganggapku sebagai
adiknya. Dia tidak pernah memarahiku. Dia sudah berjanji pada Hae Won untuk
menjaga dan melindungiku. Saat pemakaman Hae Won, dia orang yang tidak menangis.
Dia bilang arwah Hae Won akan menertawakannya.
Aku menutup pintu mobil dan meninggalkan Soman. Aku
merasa semua yang dikatakannya benar. Aku berlari dengan cepat menuju kamar
apartemenku. Aku bahkan lupa mengucapkan terima kasih kepada Soman. Aku
membaringkan tubuh di atas kasur. Aku menjerit sekuat yang aku bisa. Aku
memukul kaca dengan tanganku.
“Kenapa kau melakukan ini semua? Kau. Siapa? Mengambil
semua kebahagian. Hae Won, Moo Ri, Soman, Ayah, Ibu.” tiba-tiba teleponku
berdering. Aku melihat pesan singkat dari Moo Ri.
Jangan
menyalahkan dirimu. Semua akan baik-baik saja.
Dari
Moo Ri
Aku membuka sebuah kotak di bawah kasur. Aku mencari
kunci kotak itu dan membukanya. Di dalam kotak itu masih terisi dengan
kenangan-kenangan aku dan Hae Won. Foto kami dan sebuah surat dari Ibu Kim.
Melihat semua kenangan di kotak itu membuat aku merasa lebih tenang.
****2
Hari demi hari aku lalui tanpa kehadiran Moo Ri, Soman
datang ke apartemen hanya mengantarkan makanan untukku. Terkadang ia jga
memasak untukku. Dia tahu bahwa aku sudah terbiasa dengan masakan Korea. Dia
datang bukan untuk mengunjungiku. Dia datang untuk menjadi juru masak.
Sudah hampir seminggu tanpa kehadiran Moo Ri. Aku pulang
kerja hampir larut malam. Terkadang aku pulang pagi. Dan tak jarang aku
mengambil tugas banyak di kantor untuk menghabiskan waktu tanpa Moo Ri.
Aku tahu jika saat ini Soman sedang khawatir denganku. Ia
terus mengirim pesan. Dia mengirimnya hampir setiap jam. Aku bahkan
meninggalkan teleponku di kamar. Aku kira sudah saatnya kami berbaikan lagi.
Saat pulang bekerja, aku melihat Soman di area parkir
mobil menungguku. Aku melihat dia sangat gelisah. Aku menghampirinya. Dia
mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangannya. Aku pikir ini saatnya kami
berbicara.
“Kau, tidak merindukannya? ” ucapnya
“Sedikit, aku rasa.” jawabku
“Maafkan aku. Seharusnya kalian tidak seperti ini.”
Wajahnya terlihat sedih
“Apa yang sedang kau katakan? Kau seperti orang yang
bosan hidup.”
“Aku benar-benar merasa buruk.”
“Kau tahu, aku sangat bersyukur karena kalian kembar.
Setidaknya aku bisa melihat dia dari tubuhyang lain.”
“Bodoh. Itu akan lebih menyakitkan.”
“Tidak. Ini lebih baik. Aku bisa merasakan kehadirannya.
Aku tahu dia masih di sini (menunjuk hatinya). ”
“Aku tidak tersentuh.”
“Itu bukan untukmu bodoh.”
“Apa yang kau lakukan besok? ”
Soman terdiam. Aku meilhat wajahnya memancarkan sesuatu
yang buruk. Semua itu terlihat jelas dari tatapan matanya. Dia banyak tersenyum
padaku. Dia hanya memegang tanganku. Meskipun aku tidak tahu apa yang
dipikirkannya. Tapi aku sangat berterima kasih karena dia menjagaku dengan
baik. Malam itu kami habiskan waktu menatap bintang sambil melakukan beberapa
lelucon lama.
****3
Lagi
dan lagi, Soman datang telalu pagi. Aku bahkan muak sekali melihat dia setiap
hari. tapi jika bukan dia, siapa lagi yang akan mengurus semua makananku. Dia
terlihat seperti seorang juru masak yang ahli. Padahal dia adalah seorang
dokter, tapi dia mahir sekali memainkan alat dapur. Seperti seorang yang sedang
melakukan sirkus.
Di
tempat lain aku pikir Ibu pasti menemui Moo Ri. Aku pikir memang ada yang aneh
dengan semua tindakan Moo Ri. Terakhir kali aku mendengar bahwa ada kesepakatan
baru di antara mereka.
Sementara
itu di Seoul Moo Ri menemui Ibu Ha Neul di kantor. Kepulangan Moo Ri merupakan
salah satu umpan terbaik yang bisa dilakukan oleh Ibu Ha Neul. Ternyata kabar
tentang Ibu Moo Ri yang sedang sakit tidaklah benar. Moo Ri kembali ke Seoul
untuk sesuatu yang rahasia.
“Sepertinya
kau sehat,”
“Iya
begitu Bu.”
“Apa
dia belum berubah pikiran?”
“Sepertinya
hatinya sangat sulit untuk diuluhkan.”
“Bisakah
kau untuk tidak kembali ke Amerika? Aku akan menawarkan pekerjaan untukmu. Lagi
pula jika kau di sini, dia akan kembali lebih awal.”
“Apakah
hanya aku dan Soman yang tahu semua rencana ini?”
“Sebenarnya,
iya. Kau benar-benar merahasiakannya bukan?”
“Benar.
Aku sangat merahasiakannya.”
Moo
Ri melihat kesedihan dari wajah Ibu Kim. Dia pasti merasa kesepian setelah
bertahun-tahun kehilangan kedua putrinya. Siang itu, Moo Ri menandatangani
kontrak baru dengan Ibu Kim. Dia merasa bahwa kesedihan putri keduanya itu
terlalu menyayat hatinya. Kehilangan putri kembar bukanlah sesuau yang mudah.
Bahkan sudah hampir empat tahun kematian Hae Won.
****4
Twins Of Soul by Chanie Lee