Selasa, 08 November 2016

Menguak Peristiwa dalam Novel Saman karya Ayu Utami



                              
                                                      
Ayu Utami  seorang novelis  terkenal  dengan gaya penulisan yang gamblang, terang-terangan terkait isu gender, seks dan spiritualisme. Lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan.
Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam da di Teater Utan Kayu. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Untuk mendapatkan ide bahan tulisan, menurut Ayu adalah dengan tertarik kepada orang lain. Karena menurutnya  kalau tertarik pada diri sendiri kita cepat kehabisan bahan. Namun, kalau tertarik kepada orang lain, mempelajari mereka, membaca mereka, niscaya akan punya banyak sekali bahan tulisan.
Saman adalah pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila tak Mampir ke New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Tahun 2001, lanjutannya terbit sebagai novel terpisah berjudul  Larung  yang merupakan dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.
Mengenai keagamaan Ayu, ia dulu sangat religius. Keluarganya konservatif tapi membebaskan anaknya  menikah dengan beda agama asal tidak dengan komunis. Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya agama. Alasannya, ia menyebut lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antar agama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Agnostic, sebuah paham yang mempercayai keberadaan Tuhan namun tidak mempercayai ajaran agama manapun.
Ayu mulai melihat agama dengan kacamata baru sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, yakni agama, ketidakadilan, moralitas kelebihan, akhirnya membuat Ayu diperkirakan "terjebak" untuk selalu menulis tiga tema, yakni: seks, kegilaan dan agama. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab sangat berpengaruh pada dirinya. Meski membenci agama pada satu periode, namun  agama sudah batubata dalam dirinya. Itulah fakta yang tak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya. 
Novel Saman karya Ayu Utami ini mencerminkan masyarakat pada tahun 1998 yang sangat haus akan istilah demokrasi. Kehidupan masyarakat pada sekitar tahun 1998 yang  ingin bersuara dengan babas namun terbelenggu oleh batasan-batasan yang dibuat pemerintah. Sampai pecahlah reformasi yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, Namun juga turut mempengaruhi dunia sastra. Sehingga sejak saat itu masyarakat bebas berekspresi sesuai suara hati yang ingin diungkapkan, novel Saman karya Ayu Utami telah menggambarkan kebebasan mengungkapkan segala inspirasi dalam dirinya meskipun sampai kepada hal yang tabu.
Novel Saman karya Ayu Utami didominasi oleh gambaran Agama Katolik. Dalam gereja Katolik, Requiem atau Misa Requiem atau dikenal juga dengan Misa Arwah (Latin: Missa pro defunctis) misa kudus bagi kedamaian kekal jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal. Misa Requiem sering dilakukan pada saat prosesi pemakaman seseorang. Istilah ini juga digunakan di luar Gereja Katolik. Paroki adalah komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam Keuskupan (Gereja Partikular). Para pemuka agama Katolik memiliki hierarki sebagai berikut: romo/pastur – uskup – kardinal – paus. Pada novel tersebut Wis berada di tingkatan atau hierarki romo/pastur dan gereja paroki (tempat kedudukan pastur) .
Psikologi pengarang maupun penerapan prinsip-prinsip psikologi dalam karyanya tampak dalam karya sastra Ayu Utami yang muncul pada tahun 1998, karena pada masa itu telah runtuh rezim Orde Baru yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat tabu.
Kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra. Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai karir dalam kesusastraan Indonesia. Karyanya Saman yang telah mengulas hal-hal tabu yang dulunya masih sangat tidak pantas dijadikan karya sastra. Ayu Utami juga telah mempelopori kebebasan dalam mengekspresikan karya sastra. Hal ini disebabkan pandangan hidup seorang Ayu Utami yang bebas dan memiliki pikiran kritis terhadap pemerintah dan ia juga seorang Katolik yang taat agama membuat karyanya Saman banyak diwarnai oleh pemikiran yang luar biasa yang dituangkan secara terang-terangan.
Dalam novel tersebut tampak diskriminasi kehidupan antara masyarakat yang berada di kota dan berada di desa. Perhatikan kutipan berikut:
“Di Bantargerbang manusia hidup bersama sampah-sampah Jakarta yang kaya da rakus, dan orang-orang gila bisa berjalan-jalan di Taman Suropati yang rapih dan teduh. Tetapi hanya tujuh puluh kilometer dari kota minyak Perabumulih, seorang gadis teraniaya, bukan sebagai ekses kesrerakahan melainkan karena orang-orang tak mampu mencapai kemodernan”(Saman, 2006: 73).

Paragraf ini memperlihatkan kondisi mayarakat  acuh terhadap nilai kemanusiaan. Di kota orang kaya bisa menikmati kehidupannya, sedangkan orang miskin yang hidupnya di desa menderita dan teraniaya. Upi adalah tokoh perempuan yang memiliki keterbelakangan mental,  hidupnya tidak memiliki kejelasan, teraniaya oleh keadaan, dan diperlakukan kasar.
Ketidakadilan terhadap perempuan digambarkan Ayu Utami dengan tokoh Upi. Seorang gadis gila yang tidak terjamah kemodernan dan harus menderita dengan kehidupannya. Gadis yang terlahir dengan kekurangan yang disebabkan ayahnya membunuh hewan saat ibunya sedang mengandung. Ia memilki bahasa sendiri, sering berbicara sendiri menyebabkan ia dikira gila. Dan setelah tumbuh dewasa tubuhnya dijamahi lelaki. Wis yang melihat keaadaannya merasa kasihan dan ingin sekali meringankan  beban penderitaannya dengan membuatkan rumah untuk gadis itu. Namun, usaha tersebut mendapatkan berbagai rintangan.
Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Moral yang mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah lakuNovel ini menceritakan moral yang mulai pudar pada zamannya. Dalam tema novel Saman mengenai seksualitas. Bahwa seksualitas adalah masalah perempuan ini, perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi.
Pendobrakan nilai-nilai seperti ini yang disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dalam novel tersebut tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak adalah sebaliknya. Tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cok, dan Shakuntala (Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual.
Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil. Laila kuliah di Jurusan Komputer Gunadharma dan senang memotret, kemudian jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual dengan Sihar. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memeperdulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya.
Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia menganggap bahwa menari adalah eksplorasi yang tidak habis-habis, sebagai menari baginya adalah tubuh. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh. Ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki
Yasmin,  seorang yang cerdas dan tekun lolos PMDK Fakultas Hukum UI. Ia sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Hubungan Yasmin yang memperjakai Romo Wis (Saman) itu berlanjut melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Selanjutnya, hubungan itu semakin konkret ketika Yasmin menyusul Saman ke New York.
Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA  sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMA di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.
 Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Dan Tala yang biseks memposisikan dirinya dikalangan heteroseks.
 Anehnya, ibu Saman pun digambarkan sebagai ibu rumah tangga atau perempuan yang aneh. Karena perempuan itu digambarkan Ayu Utami sering berselingkuh dengan bangsa jin dan mambang. Tidak ada gambar atau potret kebahagiaan bagi perempuan yang menikah dalam novel Saman.
Selain tokoh perempuan di atas, Upi seorang gadis gila juga mengalami kegelisahan seksualitas. Ia sering melarikan diri dari rumah untuk menghilangkan seksualitasnya terhadap lelaki. Kadang ia memunculkan diri dihadapan orang dan mempertontonkan  kemolekan tubuhnya. Sehingga hampir semua lelaki yang melihatnya menjamahi tubuhnya.
Laki-laki yang menyetubuhi Upi tidak pernah merasa bersalah. Tidak memiliki moral dan akal sehat. Ia menjamahi perempuan gila yang seharusnya ia melindungi perempuan tapi justru mereka juga meluapkan kegelisahan seksualitasnya terhadap perempuan gila. Selain pendobrakan moral yang digambarkan Ayu Utami, ada juga pemberontakan Anson terhadap petugas PTP yang membakar tempat penyekapan Wis. Hal tersebut dilakukan bersama-sama dengan penduduk dusun Lubukrantau sebgai balasan karena mereka dulu membakar pemukiman mereka.
Novel Saman yang dianggap  mendobrak sesuatu yang dianggap tabu karena menggunakan kata-kata kotor. Hal ini digambarkan melalui kisah hubungan antara perempuan dan lelaki yang melakukan hubungan seksualitas tanpa ikatan pernikahan.
Perhatikan kutipan berikut:

New York, 16 Mei 1994
Yasmin,
Aku tak tahu apakah ada lagi dosa.
Seks terlalu indah. Barangkali karena itu. Tuhan begitu cemburusehingga Ia menyuruh Musa merajam orang-orang yang berzinah?
Tetapi perempuan selalu disesah dengan lebih bergairah. Kemanakah pria yang bersetubuh dengan wanita yang dibawa orang-orang Farisi untuk dilempari batu di luar gerbang Yerusalem?
Aku mencintai kamu. Aku mencintai kamu.
Aku tidak ingin kamu dihukum.
Tetapi kamu sungguh cantik, seperti dinyanyikan Kidung Raja Salomo.
(tubuhmu seumpama pohon kurma, dan buah dadamu gugusannya
kataku: aku ingin memanjat pohon itu dan memegang gugusannya.).  (Saman, 2006: 183).

Dari surat tersebut, pembaca pasti merasa geli dan menganggap kata-kata itu tabu. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi  keras.
Kata Masturbasi dianggap tabu bagi mereka yang belum mengenal pernikahan. Karena hanya mereka yang sudah tahu artinya yang boleh mendengar. Jika kata ini sering disebutkan maka anak-anak dan remaja akan bertanya dan mencari tahu. Dalam kehidupan masyarakat berbudaya seperti Indonesia, kata-kata tabu tidak boleh diucapkan karena akan mempengaruhi moral individu.
Selain kondisi sosial, kondisi ekonomi juga digambarkan oleh Ayu Utami. Kondisi ekonomi lain juga digambarkan dengan sosok seorang Hasyim Ali yang menjadi tulang punggung keluarganya. Saat kejadian di rig yang merenggut nyawanya akibat dentuman akibat anjungan bergoncang hebat. Hal ini disebabkan oleh ulah Cano yang tidak mendengar analisa Sihar tentang kondisi gas dan zat yang berbahaya di sumur. Sehingga peristiwa itu merenggut nyawa Hasyim Ali. Hal serupa terjadi juga pada  Argani, ibu Upi membuat Upi harus menderita dipasung. Karena tidak memilki uang untuk berobat maka dengan terpaksa mereka memasung Upi. Akibatnya, Upi yeng memiliki keterbelakangan mental dan fisiknya sering melarikan diri.
 Dalam novel tersebut, digambarkan juga ketidakadilan terhadap  ekonomi masyarakat yang tinggal di dusun Lubukrantau. Mereka berprofesi sebagai petani kecil. Petani yang bertransmigrasi di PIR Sei Kumbang, menghadapi utang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Namun, turunya harga karet membuat mereka semakin menderita. Sehingga mereka memutuskan menjualnya kepada tengkulak yang menawar harga lebih tinggi. Pemerintah berusaha memonopoli perekonomian penduduk tanpa memberikan kebebebasan pada penduduk.
Sedangkan situasi polotik yang digambarkan dalam novel adalah  sistem birokrasi yang lemah. Perhatikan kutipan berikut :

“Menurut SK beliau beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan kelapa sawit. Perusaahan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok keluar jendela, dan menoleh lagi pada Anson.” Kami melihat bahwa dusun ini saja yang belum pernah patuh untuk menendatangani kesepakatan perusahaan.” (Saman, 2006:90)

Dalam situasi tersebut masyarakat yang berprofesi sebagai petani kecil dipaksa untuk mengganti karet dengan kelapa sawit. Karena pohon karet mereka sudah besar, dan lapuk serta ditumbuhi jamur Rigidoporus Lignosus. Namun, para penduduk dusun Lubukrantau tidak ingin menggantinya sebab butuh bertahun-tahun untuk bisa menikmati hasil kebun kelapa sawit. Selain itu, karet mereka juga tumbuh subur dan mereka juga sudah mengangsur hutang. Alasan kuat penolakan mereka adalah transmigrasi dibuka  pemerintah untuk petani. Sehingga mereka sebagai penduduk transmigrasi bisa bebas menanam apa yang mereka mau tanpa adanya campur tangan pemerintah. 
Sebagaia akibatnya mereka meneriama berbagai macam teror yang terjadi di dusun Lubukrantau. Berawal dari buldozer yang merobohkan pohon-pohon karet, pohon karet muda yang diterjang celeng, jalur kendaraan yang dihalangi, kincir dirusak dan Upi diperkosa. Hal ini membuat para penduduk naik pitam. Dan sebagai umpan balik.membakar pos polisi penjaga kebun yang dijadikan tempat  penyekapan Wis.
 Wis adalah orang yang berperan penting dalam  membangun kemajuan terhadap dusun Lubukrantau. Ia  menyediakan listrik dengan kincir yang dibuatnya. Namun,  ia menjadi sasaran penculikan. Wis ditangkap dan dituduh mengajarkan teologi kebebasan, mengadu domba perusahaan dan petani untuk mengacaukan stabilitas dan mengkristenkan penduduk transmigrasi. Wis disiksa dan diinterogasi dalam penjara yang gelap.
Pemerintah yang tidak memberi kebebasan terhadap penduduk transmigrasi. Mereka berlaku sewenang-wenang dan melakukan teror terhadap penduduk transmigrasi agar mau menandatangani surat perjanjian. Padahal penduduk transmigrasi sudah mulai maju berkat bantuan seorang pastor bernama Wis.
Novel Saman karya Ayu Utami dipengaruhi oleh unsur spiritualisme. Hal ini terbukti dengan gambaran mengenai Gereja Katedral yang merupakan ciri-ciri tempat peribadatan Agama Kristen. Saman merupakaan seorang Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Ibunya seorang Raden Ayu sedangkan Bapaknya tidak memiliki darah ningrat dan memilih nama Sudoyo.
Imajinasi spiritual yang dituangkan Ayu Utami dalam novel ini tampak pada saat ibu Wis yang kehilangan bayi. Bayi pertama hilang saat ibunya pulng entah dari mana, perutnya tak lagi besar. Empat bulan kemudian ibunya hamil lagi. Saat itu Wis yang mendengar suara bayi yang baru lahir, namun ternyata ia melihat bahwa ibunya sedang tertidur lelap dan tidak ada perut yang menggembung lagi. Jabang itu lenyap dihirup atmosfir lain. Sudoyo hanya menganggap itu semua anomali pada tubuh manusia. Ia hanya percaya pada Gusti Allah dan kekuatan doa. Suatu kemustahilan yang bisa diterima oleh logika. Jabang bayi yang lenyap karena dihirup oleh atmosfir lain. Namun, Ayu Utami menghadirkan ini seolah benar-benar terjadi. Atmosfir lain yang mungkin bisa saja berasal dari bangsa Jin dan Iblis.
            Selain itu, ada imajinasi magic yang terjadi kepada Wis. Saat kebakaran terjadi di penjara. Saat ia terkulai lemas tiba-tiba tubuhnya melayang ringan. Ia merasakan ada energi yang menyusup ke dalam tubuhnya, ada nyawa-nyawa yang merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga membawanya ke bentang lahan yang ditumbuhi pohon-pohon. Tempat Anson dan penduduk Lubukrantau bersembunyi dari para petugas PTP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Ayan Menikahi Radha, Bagaimana Nasib Krishna? Perjalanan Cinta Radha Krishna masih berlanjut. Walaupun Radha telah menikah dengan Ayan, ...