A.
Biografi Pengarang
Ayu Utami seorang novelis
terkenal dengan gaya penulisan yang gamblang, terang-terangan terkait isu
gender, seks dan irasionalitas. Lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968.
Dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah
menjadi wartawan di Matra, Forum
Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di
masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes
pembredelan.
Saman adalah
pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali
terbit, Saman dibayangkan sebagai
fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila tak Mampir ke New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub
plot berkembang melampaui rencana. Tahun 2001, lanjutannya terbit sebagai novel
terpisah berjudul Larung yang merupakan
dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.
Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam di Teater
Utan Kayu. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam
masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Untuk mendapatkan
ide bahan tulisan, menurut Ayu adalah dengan tertarik kepada orang lain. Karena
menurutnya kalau tertarik pada diri sendiri kita cepat kehabisan bahan.
Namun, kalau tertarik kepada orang lain, mempelajari mereka, membaca mereka,
niscaya akan punya banyak sekali bahan tulisan.
Mengenai keagamaan Ayu, ia dulu sangat religius.
Keluarganya konservatif tapi membebaskan anaknya menikah dengan beda
agama asal tidak dengan komunis. Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya
agama. Alasannya, ia menyebut lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan
saling memusuhi antar agama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk
menjadi seorang Agnostic, sebuah paham yang
mempercayai keberadaan Tuhan namun tidak mempercayai ajaran agama manapun.
Ayu mulai
melihat agama dengan kacamata baru sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan
semua itu, yakni agama, ketidakadilan, moralitas kelebihan, akhirnya membuat
Ayu diperkirakan "terjebak" untuk selalu menulis tiga tema, yakni:
seks, kegilaan dan agama. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab
sangat berpengaruh pada dirinya. Meski membenci agama pada satu periode, namun agama sudah batubata dalam dirinya. Itulah
fakta yang tak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya.
B.
Latar
Belakang Kehidupan dalam Novel Saman
Karya sastra
tidak terlepas dari masyarakat. Dan oleh sebab itu sastra dianggap sebagai
cerminan keadaan masyarakat. Sastra lahir dari proses imajinasi dari seorang
pengarang, imajinasi timbul karena adanya fenomena yang terjadi dalam
masyarakat. Mengandung nilai-nilai yang erbungkus dalam imajinasi dan emosi
penghayatan dari pengarang.
Novel Saman karya Ayu Utami menarasikan
kehidupan masyarakat pada tahun 1998 yang sangat haus akan istilah demokrasi.
Kehidupan masyarakat pada sekitar tahun 1998 yang ingin bersuara dengan babas namun terbelenggu
oleh batasan-batasan yang dibuat pemerintah. Sampai pecahlah reformasi yang
tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi,
Namun juga turut mempengaruhi dunia sastra. Sehingga sejak saat itu masyarakat
bebas berekspresi sesuai suara hati yang ingin diungkapkan, novel Saman karya Ayu Utami telah
menggambarkan kebebasan mengungkapkan segala inspirasi dalam dirinya meskipun
sampai kepada hal yang tabu.
C.
Pemikiran
Pengarang
Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang
memulai karir dalam kesusastraan Indonesia. Karyanya Saman yang telah mengulas hal-hal tabu yang dulunya masih sangat
tidak pantas dijadikan karya sastra. Ayu Utami juga telah mempelopori kebebasan
dalam mengekspresikan karya sastra. Hal ini disebabkan pandangan hidup seorang
Ayu Utami yang bebas dan memiliki pikiran kritis terhadap pemerintah dan ia
juga seorang Katolik yang taat agama membuat karyanya Saman banyak diwarnai oleh pemikiran yang luar biasa yang
dituangkan secara terang-terangan.
Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah
membicarakan realita-realita dan permasalahannya. Misalnya, moral
yang mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut
hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. Novel ini menceritakan moral yang
mulai pudar pada zamannya. Hal ini terbukti pada kutipan berikut :
“Bagaimana, Sihar? Lambat
sekali pekerjaan ini,” tegur Rosano seolah tak peduli kehadiran tamu-tamunya
di antara mereka. (Saman, 2006: 10).
“Bagaimana, Sihar? Kami ingin
pekerjaan ini cepat selesai.”
“Kami tak berani ulai sekarang.
Risikonya cukup tinggi”
Rosano langsung membantah:
“Sekali lagi, bukan tugas kamu memutuskan. Hubingi mud logger.” (Saman, 2006:
13-14).
|
Pendobrakan moral melalui nilai-nilai seperti ini yang
disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Contoh lain, misalnya seks. Seks yang
dibahas novel Saman, di negara Timur
pembicaraan tentang seks adalah sesuatu yang tabu untuk dikonsumsi oleh
masyarakata khususnya oleh masyarakat Indonesia. Namun, dalam novel ini penulis
mengungkapkan hal-hal yang tabu itu menjadi sesuatu yang biasa dan diterima
oleh masyarakat Indonesia. Dengan cara pengungkapan yang berbeda dari penulis. Tidak
hanya itu, penulis juga mengaitkan dengan fenomena masyarakat seperti hal-hal
magic dan mistis. Seperti kutipan berikut:
Di taman Firdaus ada seorang lelaki
yang terkejut. Bulan di atasnya menggantung. (Bulan dan langit itu, kelak
akan jadi satu-satunya keindahan yang tak kenal umur, kata seorang anak yang
lahir di dunia keparat dikemudian hari.) Matahari belum tenggelam.
Tetapi lelaki itu tekejut karena
sebuah rusuknya hilang. Begitu kata bisikan Tuhan(Mungkin juga semua; ia
belum belajar anatomi.) (Saman, 2006:191).
Ketika Wis turun dari sepeda di samping
rumah, inilah yang didengarnya; tangisan bayi dari jendela kamar ibunya di
lantai dua. Ia menatap ke arah suara orok, yang jeritannya terpotong-potong.
Sayup-sayup ia dengar Ibu menembang, tembang yang biasa mendamaikan hati Wis
: lela lela ledhung....(Saman, 2006:49)
|
Dalam novel
tersebut juga memperlihatkan tokoh perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup
bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Seperti kutipan berikut:
“Vaginismus.
Aku pernah dengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks.
Vaginanya selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia
trauma pada seksualitasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim, aku di
ekstrim lain.”
Laila
tertawa keras-keras. Wah, bagaimana kalau ternyata aku juga trauma, ya? ”
Aku tertawa juga. “Bayangkan kalau
dia sudah susah payah curi-curi kesempatan lepas dari istrinya untuk kencan
dengan kamu. Terus, kamu juga sudah kepingin. Tapi ternyata tidak bisa
ditembus” (Saman, 2006: 126).
“Kau
mencabuliku. Bagimu azab dan pedih!”
“Aku Cuma
haus. Tuan, engkau tak pernah tahu artinya cabul. Engkau tak tahu artinya
terbelenggu. Engkau tak tahu artinya pedih. Bahkan peluh.”
“Tapi aku
bisa menentukannya untukmu.”
Seekor pari yang melayang lewat
meminjamkan ekornya untuk menyesah orang berdosa.
Lelaki itu
telah mencambuk dada dan punggung perempuan itu, tetapi ia menemukan di
selangkangnya sebuah liang yang harum birahi. “Engkau dinamai perempuan karen
diambil dari rusuk lelaki.” (Saman, 2006:193)
|
D.
Problematika
Kehidupan dalam Novel Saman
Novel Saman karya Ayu Utami menceritakan mengenai isu seksualitas,
ketuhanan dan irasionalitas. Isu seksualitas digambarkan melalui tokoh
laki-laki. Isu seks digambarkan melalui tokoh wanita. Sedangkan isu
irasionalitas digambarkan dengan sesuatu yang berasal di luar akal sehat.
Seperti tokoh Upi dan Ibu Saman yang memiliki hubungan dengan sesuatu yang
lain. Tokoh wanita lebih menonjolkan masalah gender, kegelisahan seksual.
Sedangkan tokoh laki-laki cenderung menggambarkan perjuangan politik dan
keadilan.
Hampir semua tokoh wanita dalam novel
ini dinarasikan sudah berhubungan seks di luar nikah. Ataupun sudah mencicipi
manisnya seksualitas dengan lawan jenisnya. Misalnya tokoh Laila yang terlibat
cinta dengan Sihar. Mereka bertemu di pertambangan ketika Lila meliput berita.
Kutipan:
“Lalu
harus bagaimana, dong?”
“Saya
ledakan kepalanya.”
Sihar
apakah kamu sudah gila? Kamu betul-betul membikin saya ketakutan. Mungkinkah
ini Cuma marah saja?
“Apa
salahnya usul saya dicoba? Saya punya teman pengacara. Dia pasti mau bantu.
Paling tidak, kalau kita bikin tekanan, Texcoil harus mengeluarkan uang lebih
.....” (Saman, 2006: 21-22)
|
Kisah lain datang dari Yasmin, dalam
narasi ia menanggalkan keperawanan sebelum menikah. Padahal Yasmin paling alim
diantara mereka. Seperti pada kutipan berikut:
Jakarta,
12 Juni 1994
Saman,
Aku
terkena aloeretisme. Bersetubuh dengan lukas tetapi membayangkan kamu. Ia
bertanya-tanya, kenapa sekarang aku semakin sering minta agar lampu dimatikan.
Sebab yang aku bayangkan adalah wajah kamu, tubuh kamu. (Saman, 2006: 194).
|
E.
Kritik
Pengarang
Novel Saman karya Ayu Utami muncul pada tahun
1998, karena pada masa itu telah runtuh rezim Orde Baru yang tidak hanya membawa
kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi. Namun juga turut
mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan
banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dalam mengeluarkan
karya-karya sastra yang bersifat tabu.
Novel Saman
tidak hanya menggambarkan tentang seksualitas saja. Tetapi ada unsur kehidupan
lain yang digambarkan oleh Ayu Utami pada masa runtuhnya rezim Orde Baru antara
lain:
1) Kehidupan
Sosial
Dalam novel tersebut
tampak kehidupan sosial masyarakat yang mendapat berbagai tekanan dari
pemerintah. Kesejahteraan masyarakat sangat buruk dan memperihatinkan dalam bidang
kesehatan. Dalam novel tersebut digambarkan melalui tokoh perempuan bernama Upi
yang mengalami keterbelakangan mental dari kehidupannya. Hal itu menyebabkan ia
menjadi terasingkan. Kemiskinan Argani, Ibu Upi membuat anaknya kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tidak adanya bantuan pemerintah membuat
Upi hidup dia menciptakan dunia sendiri. Saat berbicara ia menggunakan bahasa
yang tak diketahui orang lain.
Perhatikan
kutipan berikut:
“Di Bantargerbang manusia hidup
bersama sampah-sampah Jakarta yang kaya da rakus, dan orang-orang gila bisa
berjalan-jalan di Taman Suropati yang rapih dan teduh. Tetapi hanya tujuh
puluh kilometer dari kota minyak Perabumulih, seorang gadis teraniaya, bukan
sebagai ekses keserakahan melainkan karena orang-orang tak mampu mencapai
kemodernan”(Saman, 2006: 73).
|
2) Kondisi
Politik
Di dalam
novel digambarkan kondisi politik yang dikuasai oleh pemerintah. Salah satu
kota yang menjadi gambaran kekuasaan politik adalah Palembang. Karena pada
pemerintahan Orde Baru, banyak penduduk transmigrasi dari Pulau Jawa ke Pulau
Sumatera. Palembang sebagai salah satu kota yang menerima transmigrasi. Perhatikan
kutipan berikut :
“Menurut
SK beliau beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus
dijadikan perkebunan kelapa sawit. Perusaahan intinya sudah ditunjuk, yaitu
PT Anugrah Lahan Makmur.” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan
itu, melongok keluar jendela, dan menoleh lagi pada Anson.” Kami melihat
bahwa dusun ini saja yang belum pernah patuh untuk menendatangani kesepakatan
perusahaan.” (Saman, 2006:90)
|
Dalam
situasi tersebut penduduk transmigrasi yang berprofesi sebagai petani kecil
dipaksa untuk mengganti karet dengan kelapa sawit. Karena pohon karet mereka
sudah besar, dan lapuk serta ditumbuhi jamur Rigidoporus Lignosus. Namun, para penduduk dusun Lubukrantau tidak
ingin menggantinya sebab butuh bertahun-tahun untuk bisa menikmati hasil kebun
kelapa sawit. Selain itu, dengan bantuan Wis mereka bisa mengatasi masalah kebun
karet itu. Sekarang kebun karet mereka tumbuh
subur dan mereka juga sudah mengangsur hutang. Alasan kuat penolakan mereka
adalah transmigrasi dibuka pemerintah
untuk petani. Sehingga mereka sebagai penduduk transmigrasi bisa bebas menanam
apa yang mereka mau tanpa adanya campur tangan pemerintah.
Sebagai akibatnya
mereka menerima berbagai macam teror yang terjadi di dusun Lubukrantau. Berawal
dari buldozer yang merobohkan pohon-pohon karet, pohon karet muda yang
diterjang celeng, jalur kendaraan yang dihalangi, kincir dirusak dan Upi
diperkosa. Hal ini membuat para penduduk naik pitam. Dan sebagai umpan balik.
Mereka membakar pos polisi penjaga kebun yang dijadikan tempat penyekapan Wis.
3)
Kondisi Agama
Novel Saman karya Ayu Utami didominasi oleh
gambaran Agama Katolik. Dalam
gereja Katolik, Requiem
atau Misa Requiem atau dikenal
juga dengan Misa Arwah (Latin: Missa
pro defunctis) misa
kudus bagi kedamaian
kekal jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal. Misa Requiem sering dilakukan
pada saat prosesi pemakaman seseorang. Istilah ini juga digunakan di luar
Gereja Katolik khususnya dalam gereja Anglikan
dan gereja Lutheran. Paroki adalah
komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas
kewilayahan tertentu dalam Keuskupan
(Gereja Partikular). Para pemuka agama Katolik memiliki hierarki sebagai
berikut: romo/pastur – uskup – kardinal – paus. Pada novel tersebut Wis berada
di tingkatan atau hierarki romo/pastur dan gereja paroki (tempat kedudukan
pastur), hal ini terbukti pada kutipan berikut:
“Sepanjang malam itu Sudoyo
mendekap isterinya di dadanya. Keringatnya mengalir seperti butir-butir
darah. Misa arwah ketiga diadakan setelah keluarga itu puas menatapi bayi
yang mati, sehari semalam. Itu merupakan misa requiem pertama mereka dengan
jenazah. Tersimpan dalam peti mungil di atas meja tamu, peti kayu kecil
seperti kotak musik Eropa abad lampau, yang kemudian dibawa oleh mobil hitam
untuk ditanam dalam-dalam di tanah makam. Requiem. Requiem aeternam In
paradisum deducant te angeli.”(Saman, 2006: 57).
|
Simpulan
Meski
telah membaca novel ini dengan tuntas. Sangat sulit untuk mengkaji makna yang
tersirat. Dengan mengambil latar sosial pada masa tumbangnya Orde Baru. Novel
ini seakan menjadi ungkapan penulis atas pemberontakan terhadap rezim Soeharto
dan penepisan gender wanita yang terpinggir dari laki-laki. Selain itu, narasi bagian
akhir mengenai isu ketuhanan sangat sulit untuk dipahami.
Saman
hadir dalam kontroversi terkait vulgaritasnya. Seperti yang telah kita ketahui
bahwa pandangan masyarakat timur sangat menentang unsur vulgaritas dalam novel,
karena masyarakat timur memiliki aturan adat yang kuat. Namun, Saman, begitu
jelas membicarakan organ tubuh wanita yang paling intim serta membicarakan
masalah seksual, khususnya pada bagian tokoh-tokoh wanita. Potret seksualitas
inilah yang menceritakan kehidupan Saman dalam Novel Saman. Topik utama
memiliki gambaran-gambaran makna yang tersirat disampaikan oleh pengarang.