Selasa, 22 November 2016

Nilai Moral dalam Novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway




Ernest Miller Hemingway adalah seorang novelis, pengarangceritapendek, dan wartawanAmerika.Gaya penulisannya yang khas dicirikan oleh minimalismeyang singkat dan dengan gaya mengecilkan dari keadaan sebenarnya (understatement) dan mempunyai pengaruh yang penting terhadap perkembangan fiksi abad ke-20. Tokoh-tokoh protagonis Hemingway biasanya stoik seringkali dilihat sebagai proyeksi dari karakternya sendiri–orang-orang yang harus memperlihatkan "keanggunan di bawah tekanan." Banyak dari karyanya dianggap klasik di dalam kanon sastra Amerika.
Hemingway, yang dijuluki "Papa," adalah bagian dari komunitas ekspatriat pada 1920-an di Paris, seperti yang digambarkan dalam karya nonfiksi berjudul A Moveable Feast. Ia yang dikenal sebagai bagian dari "Generasi yang Hilang," sebuah nama yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Gertrude Stein, mengalami kehidupan sosial yang penuh dengan badai, menikah empat kali, dan konon menjalin banyak hubungan romantis semasa hidupnya. Hemingway memperoleh Hadiah Pulitzer pada 1953 untuk The Old Man and the Sea. Ia memperoleh Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1954. Meskipun ia mengatakan bahwa ia "akan berbahagia–lebih berbahagia...bila hadiah itu diberikan kepada pengarang yang cantik itu Isak Dinesen," sambil merujuk kepada pengarang Denmark Karen Blixen. Pada 1961, dalam usia 61, ia bunuh diri.
Ernest Hemingway dilahirkan pada 21 Juli 1899 di Oak Park, Illinois, sebuah suburban dari Chicago. Hemingway adalah anak lelaki pertama dan anak kedua dari enam anak yang dilahirkan dalam keluarga Clarence Edmonds ("Doctor Ed") dan Grace Hall Hemingway. Ayah Hemingway, seorang dokter, menyaksikan kelahiran Ernest dan kemudian meniup sebuah serunai di teras depannya, untuk mengumumkan kepada tetangga-tetangganya bahwa istrinya telah melahirkan seorang bayi lelaki. Keluarga Hemingway tinggal di sebuah rumah bergaya Victoria dengan enam kamar tidur, yang dibangun oleh nenek Ernest dari pihak ibunya yang telah menjanda, Ernest Hall, seorang imigran Inggris dan veteran Perang Saudara yang tinggal bersama keluarga itu. Nama Hemingway diberikan mengikuti nama neneknya.
Ibunda Hemingway berbakat menyanyi dan pernah bercita-cita untuk menjadi penyanyi opera dan hidup dengan memberikan pelajaran menyanyi dan musik. Ia seorang yang dominan dan seorang yang saleh dan berpandangan sempit, yang mencirikan etika Protestan yang ketat di Oak Park, yang kelak digambarkan Hemingway mempunyai "halaman yang luas dan pikiran yang sempit." Ibunya ingin melahirkan anak kembar, dan ketika hal itu tidak terjadi, ia mendandani Ernest yang kecil dan saudara perempuannya Marcelline (18 bulan lebih tua) dengan pakaian yang sama dan gaya rambut yang sama pula, sambil berpura-pura bahwa kedua anak itu "kembar". Grace Hemingway lebih jauh memperlakukan anaknya secara feminin pada masa remajanya dengan memanggilnya "Ernestine."
Sementara ibunya berharap bahwa anaknya akan mengembangkan minat dalam musik, Hemingway mewarisi minat ayahnya yang aktif dalam kegiatan di luar rumah, yaitu berburu dan memancing di hutan-hutan dan danau-danau di Michigan utara. Keluarga itu memiliki sebuah rumah yang dinamai Windemere di Danau Walloon, Michigan dan seringkali melewati liburan musim panasnya di sana. Pengalaman-pengalaman awal dalam hubungan erat dengan alam ini kelak menanamkan dalam diri Hemingway kecintaan yang mendalam dan berlangsung seumur hidup terhadap petualangan di luar rumah dan kehidupan di tempat-tempat di dunia yang umumnya dianggap terpencil atau terisolasi.
Hemingway belajar di SMA Oak Park dan River Forest dan di sana ia berhasil baik dalam bidang akademis maupun atletik. Hemingway bertinju dan bermain rugby, serta memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam pelajaran Sastra Inggris. Pengalaman menulisnya yang pertama adalah menjadi untuk Trapeze dan Tabula, surat kabar dan majalah sastra sekolah.
Setelah SMA Hemingway tidak melanjutkan ke sekolah tinggi. Sebaliknya, pada usia 17 tahun ia memulai karier penulisannya sebagai seorang reporter muda untuk The Kansas City Star (1917). Meskipun ia bekerja di koran itu hanya selama enam bulan, sepanjang hidupnya ia menggunakan pedoman dari gaya penulisanStar' sebagai dasar untuk gaya penulisannya: "Gunakan kalimat-kalimat pendek. Gunakan alinea pertama yang singkat. Gunakan bahasa Inggris yang hidup. Bersikaplah positif, jangan negatif."

B.     Konsep Nilai dan Moral
Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Menurut Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.
Dari uraian di atas, nilai dapat diartikan sebagai harga atau angka kepandaian. Sedangkan moral berkaitan dengan sikap, perilkau, perbuatan individu dalam kehidupan. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa Nilai Moral merupakan sesuatu yang dianggap baik dan buruk yang  berkaitan dengan perilaku, tindakan, sikap individu dalam kehidupan. 

C.    Unsur Nilai Moral dalam Novel The Old Man and The Sea

Dengan membaca karya sastra, kita akan mem­peroleh "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang ber­manfaat bagi kehidupan. Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai (value). Nilai-nilai dalam cerita dalam sebuah karya sastra terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain :
a.       Nilai Moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti baik buruk.
b.      Nilai Sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma –norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya, saling memberi, menolong, dan tenggang rasa).
c.       Nilai Budaya, yaitu konsep masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya adat istiadat, kesenian, kepercayaan, upacara adat).
d.      Nilai Estetika , yaitu nilai yang berkaitan dengan seni, keindahan dalam karya sastra (tentang bahasa, alur, tema).
e.       Nilai Religius, yaitu nilai yang berkaitan dengan ketuhanan, kepercayaan.
Dilihat dari segi kotomi aspek isi karya sastra, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Ada kalanya moral diidentikan dengan tema walau sebenarnya tidak selalu menyaran kepada maksud yang sama. Karena keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita, moral dan tema dipandang sebagai memiliki kemiripan.

Secara umum moral menunjuk pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Istilah “bermoral”, misalnya tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang terjaga dalam penuh kesadaran. Pandangan tentang nilai moral dalam sebuah karya sastra, atau hikmah yang telah diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian baik. Eksisitensi sesuatu yang baik, biasanya, justru akan lebih mencolok dan terlihat lebih intensif jika dikonfrontasikan dengan yang sebaliknya.

 Seseorang akan terlihat sebagai seseorang yang berkarakter baik jika berada dalam kontrasnyadengan tokoh yang kurang baik. Hal itu terlihat dari apa yang dilakukan oleh tokoh itu baik secara verbal maupun nonverbal termasuk cara bersikap, berpikir, dan berperasaan. Hal ini terwujud melalui alur cerita yang disampaikan pengarang. Seperti pada  kutipan novel berikut :


Kutipan cara berpikir :

“Aku memang tak taat agama,” katanya.
“Tapi aku akan mengucapkan sepuluh Bapa Kami dan sepuluh Salam Maria karena aku harus menangkap ikan ini. Aku berjanji akan menempuh perjalanan ibadah ke Virgin of Cobre jika aku berhasil menangkapnya. Itu adalah janjiku. (The Old Man and The Sea, 2015: 82).

“Akan lebih baik jika mengeuarkan jeroan lumba-lumba itu agak nanti agar darahnya tetap berada di dagingnya,” pikirnya. Aku bisa melakukan itu agak nanti dan mengikatkan dayung untuk memberikan hambatan di saat bersamaan. Sebaiknya kubiarkan ikan itu tenang sekarang dan tak terlalu mengganggunya sepanjang hari. Terbenamnya matahari adalah waktu yang sulit untuk semua ikan. Ia membiarkan tangannya kering dan di udara dan kemudian menggenggam tali kail lalu mengendurkan dirinya sebisanya dan membiarkan dirinya ditarikke arah kayu sehingga perahunya menanggung beban sebanyak, atau lebih daripada dirinya.(The Old Man and The Sea, 2015:94)

”Konyol jika tidak berharap,” pikirnya. Di samping itu, aku yakin itu berdosa. Jangan berpikir tentang dosa, katanya dalam pikirannya. Sudah cukup banyak masalah sekarang tanpa melibatkan dosa. Dan juga aku tak punya pemahaman tentangnya. (The Old Man and The Sea, 2015:134)



Kutipan cara berperasaan :
“Apa yang kau rasakan, wahai ikan?” tanyanya dengan keras. “Aaku sudah merasa lebih baik, dan tangan kiriku sudah sembuh dari kram. Aku punya persediaan makanan hingga esok hari. Tariklah perahu sesukamu, wahai ikan.” (The Old Man and The Sea, 2015: 95).

“Ikan ini adalah temanku juga” katanya keras. “Aku belum pernah melihat atau mendengar ikan yang seperti ini. Tapi aku harus berusaha membunuhnya. Aku senang kita tak harus berusaha membunuh bintang.”
“Bayangkan jika setiap hari seseorang harus mencoba membunuh bulan,” pikirnya. Bulan bisa melarikan diri. Tapi bayangkan jika seseorang setiap hari harus mencoba membunuh matahari? “Kita terlahir beruntung,” pikirnya. (The Old Man and The Sea, 2015: 96).

“Aku menyesal sudah membunuh ikan itu,”pikirnya. Masa-masa buruk akan datang dan aku bahkan tak puny harpun.”Dentuso itu kejam, kuat dan juga cerdas. Tapi aku lebih cerdas darinya, dan aku punya senjata untuk melawannya,” pikirnya. (The Old Man and The Sea, 2015:133)

Kutipan cara bersikap :

“Aku harus menyiapkan simpul dan tali untuk mengekangnya di samping perahu,” ucapnya pada diri sendiri. Sampan ini tak akan mampu menahan berat tubuhnya. Aku harus menyiapkan semuanya , lalu menaikkannnya dan mengikatnya dengan baik , kemudian menegakkan tiang dan berlayar pulang. (The Old Man and The Sea, 2015: 122).

“Aku membunuhnya untuk mempertahankan diri,” kata si lelaki tua keras. “Dan aku membunuhnya dengan baik.”
“Si bocah lelaki itu membuatku bertahan hidup. Aku harus berhenti menipu diri.”(The Old Man and The Sea, 2015:136)


Adanya unsur moral dalam karya sastra sering dikaitkan dengan fungsi sastra sebagai pembentukan karakter pembaca terutama pembaca anak dalam konteks pembelajaran sastra. Pembacaan dan pembelajaran sastra bermuara pada afeksi bukan kognisi. Aspek afektif itu sering dikaitkan dengan menyukai dan bahkan mencintai sastra. Peran sastra bagi kehidupan manusia , atau aspek pragmatik kesasatraan bagi kehidupan manusia secara sederhana tetapi mengandung makna yang dalam, telah dikemukakan oleh Horatius dengan istilah sweet and usefull ‘nikmat yang bermanfaat’. Sastra memberi kenikmatan kepada kita karena ia hadir untuk memberikan rasa senang, kesenangan, yang menghibur yang memuaskan. (Nurgiantoro,2013: 429-433).

Karakter adalah tabiat, kepribadian, identitas diri, jatidiri. Secara universal karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahatian (humility), kasih sayang (love), tangggung jawab (responbility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity). (Gufron dalam Nurgiantoro, 2015: 346). Berikut kutipan nilai moral yang berkaitan dengan pembentukan karakter dalam novel The Old Man and The Sea:

a.       Kedamaian (peace)
“Angin memang teman kita,” pikirnya.
Lalu ia menambahkan, “Nmanu hanya kadang-kadang saja. Dan laut yang perkasa juga teman kita. Dan tempat tidur juga, pikirnya. Ya, tempat tidur adalah temanku. Tempat tidur akan jadi hal yang luar biasa. Begitu mudahnya akan dikalahkan, pikirya. Aku tak pernah tahu betapa mudahnya itu. Dan apa yang telah berhasil mengalahkanmu”.(The Old Man and The Sea, 2015:155).

b.      Menghargai (respect)
“Sebaiknya aku memasang kembali umpan pada kail kecil di dekat buritan itu,” ucapnya.
“Jika ikan ini memutuskan untuk bertahan semalam lagi, aku akan membutuhkan makan lagi, sementara air minumku tinggal sedikit di botol. Ku kira aku tak akan dapat apa-apa selain lumba-lumba di sini. Tapi jika aku memakannya saat masih cukup segar, rasanya pasti enak. Kuharap seekor ikan terbang bisa datang ke sampan ini malam ini. Tapi aku tak punya lampu untuk menarik mereka. Ikan terbang sangat enak jika dimakan mentah-mentah, dan juga tak perlu memotongnya. Aku harus menyimpan tenagaku sekarang. Kristus, aku tahu ia begitu besar.”
“Aku toh akan membunuhnya,” katanya.
“Dalam kebesaran dan kemuliaanya.”
“Meskipun ini tak adil,” pikirnya. Tapi aku akan menunjukan padanya yang bisa dilakukan laki-laki tua dan dari apa ia dapat bertahan. (The Old Man and The Sea, 2015 : 83-84).

c.       Kerjasama (cooperation)
“Ayo kita bawa perlengkapan ini pulang,” kata sibocah lelaki. “Supaya aku bisa mengambil jala lempar dan menangkap sarden” (The Old Man and The Sea, 2015:17)

Mereka mengabil peralatan dari perahu. Si lelaki tua memikul tiang sampan dibahunya, sementara si bocah lelaki membawakan perahu kayu dngan kepangan tali kail cokelat yang tergulung, tombak ikan serta harpun dengan tangkainya. Peti berisi umpan ada di bawah buritan sampan bersama pemukul yang digunakan untuk menaklukan ikan besar saat ditarik ke sisi perahu. Tak seorang pun akan mencuri dari si lelaki tua, tetapi lebih baik membawa pulang layar dan kail yang berat karena embun pasti akan merusaknya. Meskipun ia cukup yakin tidak ada warga lokal penting untuk membawa pulang tombak ikan dan harpun. (The Old Man and The Sea, 2015:18)

d.      Kebebasan (freedom)
”Berapa umurku waktu kau pertama kali mengajakku berlayar dengan perahu?”
“Lima dan kau hampir terbunuh waktu kubawa naik ikan terlampau cepat. Ikannya hampir saja meremukan perahu dan menjadikannya berkeping-keping. Kau ingat?” (The Old Man and The Sea, 2015: 14)

e.       Kebahagiaan (happiness)
Ia memandang ke langit, kemudian ke ikannya. Ia menatap matahari dengan lekat. Belum terlalu jauh dari tengah hari, pikirnya. Dan angin pasat mulai datang. Tali kail tak berfungsi lagi sekarang. Aku dan si bocah lelaki akan memotong-motong dagingnya saat kami tiba di rumah.

Ia sungguh takjub melihat besarnya ikan itu. Ia segera melepaskan tali harpun dari pasak, melewatannya melalui insang ikan dan mengeluarkannya dari rahang, membuat putaran di sekeliling tombaknya lalu memasukan tali itu ke insang yang satunya,,,,
Sekarang iakn itu tampak sangat nyata di hadapannya, jadi ia tahu itu bukan hanya mimpi.... (The Old Man and The Sea, 2015: 123-127).


f.       Kejujuran (honesty)
Aku tak punya pemahaman tentang dosa dan aku tak yakin bahwa aku mempercayainya. Mungkin membunuh ikan itu dosa. Sepertinya memang begitu, meskipun aku melakukannya agar aku tetap hidup dan memberi makan banyak orang. Tapi semuanya adalah dosa. Jangan berpikir tentang dosa. Terlambat untuk memikirkan dosa, meskipun sebenarnya ada banyak orang yang dibayar untuk melakukannya. Biarkan saja mereka yang memikirkan tentang dosa. Kau terlahir untuk menjadi nelayan, seperti halnya ikan terlahir untuk menjadi ikan. San Pedro adalah neayan sebagaimana ayah DiMaggio si perkasa.(The Old Man and The Sea, 2015:135).


g.      Kerendahatian (humility)
“Satu saja,” kata lelaki tua itu. Harapan dan kepercayaan dirinya tidak pernah hilang tapi sekarang kembali segar saat angin sepoi-sepoi berembus.
“Dua,” kata bocah itu.
“Baiklah dua,” lelaki tua setuju. “Kau tidak mencurinya, bukan?”
“Tadinya aku berniat begitu,” kata si bocah.
“Tapi ini aku beli.”
“Terima kasih,” ucap si lelaki tua. Ia begitu sederhana, namun ia heran sejak kapan ia memiliki kerendahan hati seperti itu. Tapi ia tahu ia memilikinya, dan ia tahu itu bukanlah hal tercela dan takkan mengkilas harga dirinya sebagai lelaki. (The Old Man and The Sea, 2015:  16).

h.      Kasih sayang (love)
“Hanagatkan dirimu, Pak Tua,”kata si bocah. “Ingat, ini bulan September.”
“Benar sekali. Ini adalah bulan datangnya ikan besar,” jawab lelaki tua. “Siapa pun bisa jadi penangkap ikan di bulan Mei.”
“Aku akan pergi cari sarden sekarang,” kata si bocah lelaki.
            Ketika ia kembali, si lelaki tua tengah tertidur di kursi. Saat itu matahari telah terbenam. Si bocah lelaki itu mengambil selimut tentara tua dari tempat tidur dan menggelarnya di atas punggung kursi dan di atsa bahu si lelaki tua...... (The Old Man and The Sea, 2015:22)

i.        Tangggung jawab (responbility)
Si bocah membawa semua itu dalam wadah logam bertingkat dua dari Teras. Dua set pisau, garpu serta sendok ada di sakunya. Masing-masing set dibungkus dengan lap keras.
“Siapa yang memberikan ini padamu?”
“Martin. Pemiliknya.”
“Aku harus berterima kasih padanya.”
“Aku sudah mengucapkannya,” kata si bocah. “Kau tak perlu berteima kasih.”
“Akan kuberi dia daging perut dari ikan besar,” kata si lelaki tua itu. “Apa ia telah melakukan ini untuk kita lebih dari sekali?”
“Sepertinya begitu.”
“Aku harus memberinya sesuatu yang lebih dari daging perut, kalau begitu. Ia begitu perhatian pada kita.”
“Ia mengirimi dua bir.”
“Aku paling suka bir kalengan.”
“Aku tahu. Tapi bir botolam, bir Hateuy. Aku akan mengembalikan botolnya.”(The Old Man and The Sea, 2015:24)

j.        Kesederhanaan (simplicity)
Si lelaki tua meminum kopinya pelan-pelan. Hanya itu asupan untuknya hari ini dan ia tahu ia harus meminumnya sampai habis. Sudah sekian lama makan ia merasa bosan makan, karena itulah ia tak pernah membawa bekal makan siang. Ia punya sebotol air di haluan sampannya., itu sudah cukup untuknya seharian.(The Old Man and The Sea, 2015: 34).

Di dalam gubuk ia menyandarkan tiang itu ke dinding. Di kegelapan ia menemukan sebotol air dan meminumnya. Lalu ia berbaring di tempat tidur. Ia menarik selimut hingga ke bahunya lalu menutupi punggung dan kakinya dan ia tidur tengkurap menindih koran dngan tangannnya terjulur dan telapak tangannya menengadah.  (The Old Man and The Sea, 2015:157).

Topi jeraminya berada jauh di belakang kepalanya. Ia melesak ke haluan oleh tarikan tali kail saat mersakan ikan itu membelok.
“Kau boleh berusaha sekarang, ikan,” pikirnya. “Akan kukalahkan kau saat giliranku tiba ”

k.      Toleransi (tolerance)
Keduanya duduk di Teras. Ada banyak nelayan di sana, mereka menertawakan si lelaki tua. Namun lelaki tua itu tidak marah. Nelayan lain yang lebih tua menatapnya dengan tatapan iba, tetapi mereka tidak menunjukannya dengan terang-terangan. Mereka berbicara dengan sopan mengenai arus air laut, kedalaman kail yang mereka pasang, cuaca yang terus baik serta apa-apa saja yang mereka lihat. Nelayan-nelayan yang sukses hari  itu ada di sana dan telah menjanggal ikan marlin mereka. Mereka lalu membawa ikan-ikan itu.......(The Old Man and ThSea, 2015:12-13)


l.        Persatuan (unity).
Banyak nelayan mengerumuni sampan si lelaki tua, mengamati apa yang terikat di sisinya. Satu orang masuk ke air, celananya digulung, mengukur kerangka itu dengan panjang tali kail.

Bocah itu tidak turun. Ia sudah ke sana sebelumnya dan salah satu nelayan mengurus sampan itu untuknya. “Bagaimana kondisinya?” salah satu nelayan berteriak. “Tidur,” bocah lelaki itu berseru. Ia tak peduli mereka melihatnya menangis.”Jangan ganggu dia.”
“Panjangnya delapan kaki dari moncong sampai ekor,” nelayan yang mengukur tadi berseru dengan keras. (The Old Man and The Sea, 2015:158).

Bentuk penyampaian nilai-nilai moral dari sisi tertentu cerita fiksi dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang untuk berdialog. Dalam penegertian ini, karya sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi. Namun, dibandingkan dengan sarana komunikasi lain, tertulis maupun lisan , karya sastra merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban tujuan estetik, tentu mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyampaikan nilai-nilai moralnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian  nilai moral dalam fiksi dapat dibedakan ke dalam cara. Pertama, penyampaian nilai moral secaralangsung, sedang kedua secara tidak langsung. Bentuk penyampaian nilai moral yang langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling atau penjelasan, expository. Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya, teknik penyampaian tersebut praktis dan komunikatif.

Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya , bentuk penyampaian nilai moral secara tidak langsung adalah sesuatu yang tersirat dalam cerita. Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini berjalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa atau konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. (Nurgiantoro, 2015: 460-467).



a.       Penyampaian nilai moral secara langsung, misalnya:

Dia adalah seorang lelaki tua yang mengail sendiri saja dengan sebuah sampan di tengah Arus Teluk. Ia telah melewatkan delapan puluh empat hari tanpa berhasil menangkap seekor ikan pun. Dalam empat puluh hari pertama itu, seorang bocah turut pergi berlayar bersamanya. Namun, setelah empat puluh hari berlalu tanpa ada satu pun tangkapan, orang tua si bocah memberitahunya bahwa lelaki tua itu sekarang menjadi sala, yang merupakan bentuk dari tidak keberuntungan. (The Old Man and The Sea, 2015:10).

Dari kutipan tersebut kita bisa melihat, lelaki tua itu telah menjadi salao, setelah delapan puluh empat hari tidak mendapatkan seekor ikan. Nilai moral yang dapat kita ambil adalah jangan menilai seseorang atau memberikan julukan yang tidak sepantasnya kepada orang lain. karena jika kita yang berada diposisi lelaki tua itu, pasti hati kita tidak akan bisa menerima julukan salao yang merupakan bentuk terburuk dari ketidakberuntungan.

b.      Penyampaian nilai moral secara tidak langsung adalah kegigihan dalam bekerja dan perjuangan bertahan hidup, Contoh tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Sekarang,” pikirnya, aku harus memikirkan masalah pelambatnya. Aku bisa jadi kehilangan terlalu banyak tali kail yang bisa membuat lepas ikan itu, jika ia mengeluarkan usahanya. Pelambat dari dayung sudah terpasang perahumemperlama penderitaan kami berdua tapi itu untuk keselamatanku karena ia punya kecepatan tinggi yang belum digunakannya. Apa pun yang terjadi, aku harus membersihkan jeroan lumba-lumba itu agar tak membusuk. Ia harus memakannya sebagian agar tubuhnya kuat.(The Old Man and The Sea, 2015:97).

“Aku akan beristirahat pada putaran berikutnya setelah ia berggerak menjauh,”katanya. “Aku akan merasa lebih baik. Lalu dalam dua tiga giliranku, aku pasti akan menaklukannya.” (The Old Man and The Sea, 2015:114)

Ia menahan semua rasa sakitnya dan apa yang tersisa dari kekuatannyaserta harga dirinya yang telah menghilang sejak lama. Ia menandingkannya dengan kesulitan yang dialami si ikan dan ikan itu datang ke sisinya dan berenang lembut, di sampingnya, moncongnya hampir menyentuh papan sampan dan mulai menyalip perahu itu, panjang, dalam, lebar, keperakan dan berbelang ungu dan tak berkesudahan di dalam air. (The Old Man and The Sea, 2015:120).

“Mulailah bekerja, Pak Tua,” katanya. Ia menenggak sedikit air minumnya. “Ada begitu banyak pekerjaan berat yang harus dilakukan sekarang setelah pertarungan selesai.”(The Old Man and The Sea, 2015:123)

Daftar Pustaka

Nurgiantoro, Burhan.2010. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: UGM Press
Mardiliyahjun.2013.Perkembangan Nilai Moral dan Sikap:Wordpress,(https://fmardliyahjun.wordpress.com/2013/04/03/makalah-peserta-didik-perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/), dikases 19 November 2016
Chingu.2015.Biografi Ernest Hemingway:Blogspot,(http://myblogchingu.blogspot.co.id/2015/09/biografi-ernest-hemingway-beserta.html), diakses 19 November 2016

Selasa, 08 November 2016

Menguak Peristiwa dalam Novel Saman karya Ayu Utami



                              
                                                      
Ayu Utami  seorang novelis  terkenal  dengan gaya penulisan yang gamblang, terang-terangan terkait isu gender, seks dan spiritualisme. Lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor, dan Detik di masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan.
Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam da di Teater Utan Kayu. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000. Untuk mendapatkan ide bahan tulisan, menurut Ayu adalah dengan tertarik kepada orang lain. Karena menurutnya  kalau tertarik pada diri sendiri kita cepat kehabisan bahan. Namun, kalau tertarik kepada orang lain, mempelajari mereka, membaca mereka, niscaya akan punya banyak sekali bahan tulisan.
Saman adalah pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila tak Mampir ke New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Tahun 2001, lanjutannya terbit sebagai novel terpisah berjudul  Larung  yang merupakan dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri.
Mengenai keagamaan Ayu, ia dulu sangat religius. Keluarganya konservatif tapi membebaskan anaknya  menikah dengan beda agama asal tidak dengan komunis. Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya agama. Alasannya, ia menyebut lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antar agama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Agnostic, sebuah paham yang mempercayai keberadaan Tuhan namun tidak mempercayai ajaran agama manapun.
Ayu mulai melihat agama dengan kacamata baru sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, yakni agama, ketidakadilan, moralitas kelebihan, akhirnya membuat Ayu diperkirakan "terjebak" untuk selalu menulis tiga tema, yakni: seks, kegilaan dan agama. Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab sangat berpengaruh pada dirinya. Meski membenci agama pada satu periode, namun  agama sudah batubata dalam dirinya. Itulah fakta yang tak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya. 
Novel Saman karya Ayu Utami ini mencerminkan masyarakat pada tahun 1998 yang sangat haus akan istilah demokrasi. Kehidupan masyarakat pada sekitar tahun 1998 yang  ingin bersuara dengan babas namun terbelenggu oleh batasan-batasan yang dibuat pemerintah. Sampai pecahlah reformasi yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi, Namun juga turut mempengaruhi dunia sastra. Sehingga sejak saat itu masyarakat bebas berekspresi sesuai suara hati yang ingin diungkapkan, novel Saman karya Ayu Utami telah menggambarkan kebebasan mengungkapkan segala inspirasi dalam dirinya meskipun sampai kepada hal yang tabu.
Novel Saman karya Ayu Utami didominasi oleh gambaran Agama Katolik. Dalam gereja Katolik, Requiem atau Misa Requiem atau dikenal juga dengan Misa Arwah (Latin: Missa pro defunctis) misa kudus bagi kedamaian kekal jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal. Misa Requiem sering dilakukan pada saat prosesi pemakaman seseorang. Istilah ini juga digunakan di luar Gereja Katolik. Paroki adalah komunitas kaum beriman yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam Keuskupan (Gereja Partikular). Para pemuka agama Katolik memiliki hierarki sebagai berikut: romo/pastur – uskup – kardinal – paus. Pada novel tersebut Wis berada di tingkatan atau hierarki romo/pastur dan gereja paroki (tempat kedudukan pastur) .
Psikologi pengarang maupun penerapan prinsip-prinsip psikologi dalam karyanya tampak dalam karya sastra Ayu Utami yang muncul pada tahun 1998, karena pada masa itu telah runtuh rezim Orde Baru yang tidak hanya membawa kebebasan untuk bersuara, berpendapat dan berekspresi. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan baru yang kritis dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat tabu.
Kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra. Ayu Utami adalah satu diantara sastrawan baru yang memulai karir dalam kesusastraan Indonesia. Karyanya Saman yang telah mengulas hal-hal tabu yang dulunya masih sangat tidak pantas dijadikan karya sastra. Ayu Utami juga telah mempelopori kebebasan dalam mengekspresikan karya sastra. Hal ini disebabkan pandangan hidup seorang Ayu Utami yang bebas dan memiliki pikiran kritis terhadap pemerintah dan ia juga seorang Katolik yang taat agama membuat karyanya Saman banyak diwarnai oleh pemikiran yang luar biasa yang dituangkan secara terang-terangan.
Dalam novel tersebut tampak diskriminasi kehidupan antara masyarakat yang berada di kota dan berada di desa. Perhatikan kutipan berikut:
“Di Bantargerbang manusia hidup bersama sampah-sampah Jakarta yang kaya da rakus, dan orang-orang gila bisa berjalan-jalan di Taman Suropati yang rapih dan teduh. Tetapi hanya tujuh puluh kilometer dari kota minyak Perabumulih, seorang gadis teraniaya, bukan sebagai ekses kesrerakahan melainkan karena orang-orang tak mampu mencapai kemodernan”(Saman, 2006: 73).

Paragraf ini memperlihatkan kondisi mayarakat  acuh terhadap nilai kemanusiaan. Di kota orang kaya bisa menikmati kehidupannya, sedangkan orang miskin yang hidupnya di desa menderita dan teraniaya. Upi adalah tokoh perempuan yang memiliki keterbelakangan mental,  hidupnya tidak memiliki kejelasan, teraniaya oleh keadaan, dan diperlakukan kasar.
Ketidakadilan terhadap perempuan digambarkan Ayu Utami dengan tokoh Upi. Seorang gadis gila yang tidak terjamah kemodernan dan harus menderita dengan kehidupannya. Gadis yang terlahir dengan kekurangan yang disebabkan ayahnya membunuh hewan saat ibunya sedang mengandung. Ia memilki bahasa sendiri, sering berbicara sendiri menyebabkan ia dikira gila. Dan setelah tumbuh dewasa tubuhnya dijamahi lelaki. Wis yang melihat keaadaannya merasa kasihan dan ingin sekali meringankan  beban penderitaannya dengan membuatkan rumah untuk gadis itu. Namun, usaha tersebut mendapatkan berbagai rintangan.
Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Moral yang mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah lakuNovel ini menceritakan moral yang mulai pudar pada zamannya. Dalam tema novel Saman mengenai seksualitas. Bahwa seksualitas adalah masalah perempuan ini, perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi.
Pendobrakan nilai-nilai seperti ini yang disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dalam novel tersebut tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak adalah sebaliknya. Tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cok, dan Shakuntala (Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual.
Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil. Laila kuliah di Jurusan Komputer Gunadharma dan senang memotret, kemudian jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual dengan Sihar. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memeperdulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya.
Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia menganggap bahwa menari adalah eksplorasi yang tidak habis-habis, sebagai menari baginya adalah tubuh. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh. Ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki
Yasmin,  seorang yang cerdas dan tekun lolos PMDK Fakultas Hukum UI. Ia sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Hubungan Yasmin yang memperjakai Romo Wis (Saman) itu berlanjut melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Selanjutnya, hubungan itu semakin konkret ketika Yasmin menyusul Saman ke New York.
Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA  sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMA di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.
 Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Dan Tala yang biseks memposisikan dirinya dikalangan heteroseks.
 Anehnya, ibu Saman pun digambarkan sebagai ibu rumah tangga atau perempuan yang aneh. Karena perempuan itu digambarkan Ayu Utami sering berselingkuh dengan bangsa jin dan mambang. Tidak ada gambar atau potret kebahagiaan bagi perempuan yang menikah dalam novel Saman.
Selain tokoh perempuan di atas, Upi seorang gadis gila juga mengalami kegelisahan seksualitas. Ia sering melarikan diri dari rumah untuk menghilangkan seksualitasnya terhadap lelaki. Kadang ia memunculkan diri dihadapan orang dan mempertontonkan  kemolekan tubuhnya. Sehingga hampir semua lelaki yang melihatnya menjamahi tubuhnya.
Laki-laki yang menyetubuhi Upi tidak pernah merasa bersalah. Tidak memiliki moral dan akal sehat. Ia menjamahi perempuan gila yang seharusnya ia melindungi perempuan tapi justru mereka juga meluapkan kegelisahan seksualitasnya terhadap perempuan gila. Selain pendobrakan moral yang digambarkan Ayu Utami, ada juga pemberontakan Anson terhadap petugas PTP yang membakar tempat penyekapan Wis. Hal tersebut dilakukan bersama-sama dengan penduduk dusun Lubukrantau sebgai balasan karena mereka dulu membakar pemukiman mereka.
Novel Saman yang dianggap  mendobrak sesuatu yang dianggap tabu karena menggunakan kata-kata kotor. Hal ini digambarkan melalui kisah hubungan antara perempuan dan lelaki yang melakukan hubungan seksualitas tanpa ikatan pernikahan.
Perhatikan kutipan berikut:

New York, 16 Mei 1994
Yasmin,
Aku tak tahu apakah ada lagi dosa.
Seks terlalu indah. Barangkali karena itu. Tuhan begitu cemburusehingga Ia menyuruh Musa merajam orang-orang yang berzinah?
Tetapi perempuan selalu disesah dengan lebih bergairah. Kemanakah pria yang bersetubuh dengan wanita yang dibawa orang-orang Farisi untuk dilempari batu di luar gerbang Yerusalem?
Aku mencintai kamu. Aku mencintai kamu.
Aku tidak ingin kamu dihukum.
Tetapi kamu sungguh cantik, seperti dinyanyikan Kidung Raja Salomo.
(tubuhmu seumpama pohon kurma, dan buah dadamu gugusannya
kataku: aku ingin memanjat pohon itu dan memegang gugusannya.).  (Saman, 2006: 183).

Dari surat tersebut, pembaca pasti merasa geli dan menganggap kata-kata itu tabu. Tabu atau pantangan adalah suatu pelarangan sosial yang kuat terhadap kata, benda, tindakan, atau orang yang dianggap tidak diinginkan oleh suatu kelompok, budaya, atau masyarakat. Pelanggaran tabu biasanya tidak dapat diterima dan dapat dianggap menyerang. Beberapa tindakan atau kebiasaan yang bersifat tabu bahkan dapat dilarang secara hukum dan pelanggarannya dapat menyebabkan pemberian sanksi  keras.
Kata Masturbasi dianggap tabu bagi mereka yang belum mengenal pernikahan. Karena hanya mereka yang sudah tahu artinya yang boleh mendengar. Jika kata ini sering disebutkan maka anak-anak dan remaja akan bertanya dan mencari tahu. Dalam kehidupan masyarakat berbudaya seperti Indonesia, kata-kata tabu tidak boleh diucapkan karena akan mempengaruhi moral individu.
Selain kondisi sosial, kondisi ekonomi juga digambarkan oleh Ayu Utami. Kondisi ekonomi lain juga digambarkan dengan sosok seorang Hasyim Ali yang menjadi tulang punggung keluarganya. Saat kejadian di rig yang merenggut nyawanya akibat dentuman akibat anjungan bergoncang hebat. Hal ini disebabkan oleh ulah Cano yang tidak mendengar analisa Sihar tentang kondisi gas dan zat yang berbahaya di sumur. Sehingga peristiwa itu merenggut nyawa Hasyim Ali. Hal serupa terjadi juga pada  Argani, ibu Upi membuat Upi harus menderita dipasung. Karena tidak memilki uang untuk berobat maka dengan terpaksa mereka memasung Upi. Akibatnya, Upi yeng memiliki keterbelakangan mental dan fisiknya sering melarikan diri.
 Dalam novel tersebut, digambarkan juga ketidakadilan terhadap  ekonomi masyarakat yang tinggal di dusun Lubukrantau. Mereka berprofesi sebagai petani kecil. Petani yang bertransmigrasi di PIR Sei Kumbang, menghadapi utang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Namun, turunya harga karet membuat mereka semakin menderita. Sehingga mereka memutuskan menjualnya kepada tengkulak yang menawar harga lebih tinggi. Pemerintah berusaha memonopoli perekonomian penduduk tanpa memberikan kebebebasan pada penduduk.
Sedangkan situasi polotik yang digambarkan dalam novel adalah  sistem birokrasi yang lemah. Perhatikan kutipan berikut :

“Menurut SK beliau beliau tahun 1989, lokasi transmigrasi Sei Kumbang ini harus dijadikan perkebunan kelapa sawit. Perusaahan intinya sudah ditunjuk, yaitu PT Anugrah Lahan Makmur.” Ia berhenti sebentar, memandang rumah pengolahan itu, melongok keluar jendela, dan menoleh lagi pada Anson.” Kami melihat bahwa dusun ini saja yang belum pernah patuh untuk menendatangani kesepakatan perusahaan.” (Saman, 2006:90)

Dalam situasi tersebut masyarakat yang berprofesi sebagai petani kecil dipaksa untuk mengganti karet dengan kelapa sawit. Karena pohon karet mereka sudah besar, dan lapuk serta ditumbuhi jamur Rigidoporus Lignosus. Namun, para penduduk dusun Lubukrantau tidak ingin menggantinya sebab butuh bertahun-tahun untuk bisa menikmati hasil kebun kelapa sawit. Selain itu, karet mereka juga tumbuh subur dan mereka juga sudah mengangsur hutang. Alasan kuat penolakan mereka adalah transmigrasi dibuka  pemerintah untuk petani. Sehingga mereka sebagai penduduk transmigrasi bisa bebas menanam apa yang mereka mau tanpa adanya campur tangan pemerintah. 
Sebagaia akibatnya mereka meneriama berbagai macam teror yang terjadi di dusun Lubukrantau. Berawal dari buldozer yang merobohkan pohon-pohon karet, pohon karet muda yang diterjang celeng, jalur kendaraan yang dihalangi, kincir dirusak dan Upi diperkosa. Hal ini membuat para penduduk naik pitam. Dan sebagai umpan balik.membakar pos polisi penjaga kebun yang dijadikan tempat  penyekapan Wis.
 Wis adalah orang yang berperan penting dalam  membangun kemajuan terhadap dusun Lubukrantau. Ia  menyediakan listrik dengan kincir yang dibuatnya. Namun,  ia menjadi sasaran penculikan. Wis ditangkap dan dituduh mengajarkan teologi kebebasan, mengadu domba perusahaan dan petani untuk mengacaukan stabilitas dan mengkristenkan penduduk transmigrasi. Wis disiksa dan diinterogasi dalam penjara yang gelap.
Pemerintah yang tidak memberi kebebasan terhadap penduduk transmigrasi. Mereka berlaku sewenang-wenang dan melakukan teror terhadap penduduk transmigrasi agar mau menandatangani surat perjanjian. Padahal penduduk transmigrasi sudah mulai maju berkat bantuan seorang pastor bernama Wis.
Novel Saman karya Ayu Utami dipengaruhi oleh unsur spiritualisme. Hal ini terbukti dengan gambaran mengenai Gereja Katedral yang merupakan ciri-ciri tempat peribadatan Agama Kristen. Saman merupakaan seorang Pater Wisanggeni atau Romo Wis. Ibunya seorang Raden Ayu sedangkan Bapaknya tidak memiliki darah ningrat dan memilih nama Sudoyo.
Imajinasi spiritual yang dituangkan Ayu Utami dalam novel ini tampak pada saat ibu Wis yang kehilangan bayi. Bayi pertama hilang saat ibunya pulng entah dari mana, perutnya tak lagi besar. Empat bulan kemudian ibunya hamil lagi. Saat itu Wis yang mendengar suara bayi yang baru lahir, namun ternyata ia melihat bahwa ibunya sedang tertidur lelap dan tidak ada perut yang menggembung lagi. Jabang itu lenyap dihirup atmosfir lain. Sudoyo hanya menganggap itu semua anomali pada tubuh manusia. Ia hanya percaya pada Gusti Allah dan kekuatan doa. Suatu kemustahilan yang bisa diterima oleh logika. Jabang bayi yang lenyap karena dihirup oleh atmosfir lain. Namun, Ayu Utami menghadirkan ini seolah benar-benar terjadi. Atmosfir lain yang mungkin bisa saja berasal dari bangsa Jin dan Iblis.
            Selain itu, ada imajinasi magic yang terjadi kepada Wis. Saat kebakaran terjadi di penjara. Saat ia terkulai lemas tiba-tiba tubuhnya melayang ringan. Ia merasakan ada energi yang menyusup ke dalam tubuhnya, ada nyawa-nyawa yang merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga membawanya ke bentang lahan yang ditumbuhi pohon-pohon. Tempat Anson dan penduduk Lubukrantau bersembunyi dari para petugas PTP.

  Ayan Menikahi Radha, Bagaimana Nasib Krishna? Perjalanan Cinta Radha Krishna masih berlanjut. Walaupun Radha telah menikah dengan Ayan, ...