Ernest
Miller Hemingway adalah seorang novelis, pengarangceritapendek, dan wartawanAmerika.Gaya penulisannya yang khas dicirikan oleh minimalismeyang singkat dan dengan gaya mengecilkan dari keadaan
sebenarnya (understatement) dan mempunyai pengaruh yang penting terhadap
perkembangan fiksi abad ke-20. Tokoh-tokoh protagonis Hemingway biasanya stoik seringkali dilihat sebagai proyeksi dari karakternya
sendiri–orang-orang yang harus memperlihatkan "keanggunan di bawah
tekanan." Banyak dari karyanya dianggap klasik di dalam kanon sastra Amerika.
Hemingway, yang
dijuluki "Papa," adalah bagian dari komunitas ekspatriat pada 1920-an di Paris, seperti yang digambarkan dalam karya nonfiksi
berjudul A Moveable Feast. Ia yang dikenal sebagai bagian dari "Generasi yang Hilang," sebuah nama yang diciptakan dan dipopulerkan
oleh Gertrude Stein,
mengalami kehidupan sosial yang penuh dengan badai, menikah empat kali, dan
konon menjalin banyak hubungan romantis semasa hidupnya. Hemingway memperoleh Hadiah
Pulitzer pada 1953 untuk The Old Man and the Sea. Ia memperoleh Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1954. Meskipun ia mengatakan bahwa ia "akan
berbahagia–lebih berbahagia...bila hadiah itu diberikan kepada pengarang yang
cantik itu Isak Dinesen," sambil merujuk kepada pengarang Denmark Karen Blixen. Pada 1961, dalam usia 61, ia bunuh diri.
Ernest
Hemingway dilahirkan pada 21 Juli 1899
di Oak Park, Illinois, sebuah suburban dari Chicago. Hemingway adalah anak lelaki pertama dan anak kedua
dari enam anak yang dilahirkan dalam keluarga Clarence Edmonds ("Doctor
Ed") dan Grace Hall Hemingway. Ayah Hemingway, seorang dokter, menyaksikan
kelahiran Ernest dan kemudian meniup sebuah serunai di teras depannya, untuk
mengumumkan kepada tetangga-tetangganya bahwa istrinya telah melahirkan seorang
bayi lelaki. Keluarga Hemingway tinggal di sebuah rumah bergaya Victoria dengan
enam kamar tidur, yang dibangun oleh nenek Ernest dari pihak ibunya yang telah
menjanda, Ernest Hall, seorang imigran Inggris dan veteran Perang Saudara yang tinggal bersama keluarga
itu. Nama Hemingway diberikan mengikuti nama neneknya.
Ibunda
Hemingway berbakat menyanyi dan pernah bercita-cita untuk menjadi penyanyi
opera dan hidup dengan memberikan pelajaran menyanyi dan musik. Ia seorang yang
dominan dan seorang yang saleh dan berpandangan sempit, yang mencirikan etika Protestan yang ketat di Oak Park, yang kelak digambarkan Hemingway
mempunyai "halaman yang luas dan pikiran yang sempit." Ibunya ingin
melahirkan anak kembar, dan ketika hal itu tidak terjadi, ia mendandani Ernest
yang kecil dan saudara perempuannya Marcelline (18 bulan lebih tua) dengan
pakaian yang sama dan gaya rambut yang sama pula, sambil berpura-pura bahwa
kedua anak itu "kembar". Grace Hemingway lebih jauh memperlakukan
anaknya secara feminin pada masa remajanya dengan memanggilnya
"Ernestine."
Sementara ibunya berharap bahwa
anaknya akan mengembangkan minat dalam musik, Hemingway mewarisi minat ayahnya
yang aktif dalam kegiatan di luar rumah, yaitu berburu dan memancing di
hutan-hutan dan danau-danau di Michigan utara. Keluarga itu memiliki sebuah
rumah yang dinamai Windemere di Danau Walloon, Michigan dan seringkali melewati liburan musim panasnya
di sana. Pengalaman-pengalaman awal dalam hubungan erat dengan alam ini kelak menanamkan dalam diri Hemingway kecintaan yang mendalam dan
berlangsung seumur hidup terhadap petualangan di luar rumah dan kehidupan di
tempat-tempat di dunia yang umumnya dianggap terpencil atau terisolasi.
Hemingway belajar di SMA Oak Park dan
River Forest dan di sana ia berhasil baik dalam bidang akademis maupun atletik.
Hemingway bertinju dan bermain rugby, serta memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam pelajaran Sastra Inggris. Pengalaman menulisnya yang pertama adalah menjadi untuk
Trapeze dan Tabula, surat kabar dan majalah sastra sekolah.
Setelah SMA Hemingway tidak
melanjutkan ke sekolah tinggi. Sebaliknya, pada usia 17 tahun ia memulai karier
penulisannya sebagai seorang reporter muda untuk The Kansas City Star (1917). Meskipun ia bekerja di koran
itu hanya selama enam bulan, sepanjang hidupnya ia menggunakan pedoman dari gaya penulisan ‘Star' sebagai dasar untuk gaya penulisannya:
"Gunakan kalimat-kalimat pendek. Gunakan alinea pertama yang singkat.
Gunakan bahasa Inggris yang hidup. Bersikaplah positif, jangan negatif."
B. Konsep Nilai dan Moral
Dalam kamus
bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut
Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh
individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial
tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan
berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan
konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger
tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif”
(subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan
“roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala
didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang
dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang
harus dicapai.
Menurut
Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok
sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang
ingin dicapai. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara
perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama
dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan
emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta
aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Istilah moral
berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral
merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam
kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar
baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas
merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan
demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan
keharmonisan.
Perubahan
pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep
moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat
umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual,
dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.
Dari uraian
di atas, nilai dapat diartikan sebagai harga atau angka kepandaian. Sedangkan
moral berkaitan dengan sikap, perilkau, perbuatan individu dalam kehidupan.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa Nilai Moral merupakan sesuatu yang
dianggap baik dan buruk yang berkaitan
dengan perilaku, tindakan, sikap individu dalam kehidupan.
C. Unsur Nilai Moral dalam Novel The Old Man and The Sea
Dengan membaca karya sastra, kita
akan memperoleh "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan atau
meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu
yang bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung
nilai (value). Nilai-nilai dalam cerita dalam sebuah karya sastra terkandung
nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain :
a.
Nilai Moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak
atau budi pekerti baik buruk.
b.
Nilai Sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
norma –norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya, saling memberi, menolong,
dan tenggang rasa).
c.
Nilai Budaya, yaitu konsep masalah dasar yang sangat
penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya adat istiadat, kesenian,
kepercayaan, upacara adat).
d.
Nilai Estetika , yaitu nilai yang berkaitan dengan
seni, keindahan dalam karya sastra (tentang bahasa, alur, tema).
e.
Nilai Religius, yaitu nilai yang berkaitan dengan
ketuhanan, kepercayaan.
Dilihat dari segi kotomi aspek isi karya sastra, moral
merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan
makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita.
Ada kalanya moral diidentikan dengan tema walau sebenarnya tidak selalu
menyaran kepada maksud yang sama. Karena keduanya merupakan sesuatu yang
terkandung, dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita, moral dan tema
dipandang sebagai memiliki kemiripan.
Secara umum moral menunjuk pada pengertian (ajaran
tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Istilah “bermoral”, misalnya
tokoh bermoral tinggi, berarti mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang
terjaga dalam penuh kesadaran. Pandangan tentang nilai moral dalam sebuah karya
sastra, atau hikmah yang telah diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam
pengertian baik. Eksisitensi sesuatu yang baik, biasanya, justru akan lebih
mencolok dan terlihat lebih intensif jika dikonfrontasikan dengan yang
sebaliknya.
Seseorang akan
terlihat sebagai seseorang yang berkarakter baik jika berada dalam
kontrasnyadengan tokoh yang kurang baik. Hal itu terlihat dari apa yang
dilakukan oleh tokoh itu baik secara verbal maupun nonverbal termasuk cara
bersikap, berpikir, dan berperasaan. Hal ini terwujud melalui alur cerita yang
disampaikan pengarang. Seperti pada kutipan novel berikut :
Kutipan cara berpikir :
“Aku
memang tak taat agama,” katanya.
“Tapi aku
akan mengucapkan sepuluh Bapa Kami dan sepuluh Salam Maria karena aku harus
menangkap ikan ini. Aku berjanji akan menempuh perjalanan ibadah ke Virgin of Cobre jika aku berhasil
menangkapnya. Itu adalah janjiku. (The Old Man and The Sea, 2015: 82).
“Akan
lebih baik jika mengeuarkan jeroan lumba-lumba itu agak nanti agar darahnya
tetap berada di dagingnya,” pikirnya. Aku bisa melakukan itu agak nanti dan
mengikatkan dayung untuk memberikan hambatan di saat bersamaan. Sebaiknya
kubiarkan ikan itu tenang sekarang dan tak terlalu mengganggunya sepanjang
hari. Terbenamnya matahari adalah waktu yang sulit untuk semua ikan. Ia
membiarkan tangannya kering dan di udara dan kemudian menggenggam tali kail
lalu mengendurkan dirinya sebisanya dan membiarkan dirinya ditarikke arah
kayu sehingga perahunya menanggung beban sebanyak, atau lebih daripada
dirinya.(The Old Man and The Sea, 2015:94)
”Konyol
jika tidak berharap,” pikirnya. Di samping itu, aku yakin itu berdosa. Jangan
berpikir tentang dosa, katanya dalam pikirannya. Sudah cukup banyak masalah
sekarang tanpa melibatkan dosa. Dan juga aku tak punya pemahaman tentangnya.
(The Old Man and The Sea, 2015:134)
Kutipan cara berperasaan :
“Apa yang
kau rasakan, wahai ikan?” tanyanya dengan keras. “Aaku sudah merasa lebih
baik, dan tangan kiriku sudah sembuh dari kram. Aku punya persediaan makanan
hingga esok hari. Tariklah perahu sesukamu, wahai ikan.” (The Old Man and The
Sea, 2015: 95).
“Ikan
ini adalah temanku juga” katanya keras. “Aku belum pernah melihat atau
mendengar ikan yang seperti ini. Tapi aku harus berusaha membunuhnya. Aku
senang kita tak harus berusaha membunuh bintang.”
“Bayangkan
jika setiap hari seseorang harus mencoba membunuh bulan,” pikirnya. Bulan
bisa melarikan diri. Tapi bayangkan jika seseorang setiap hari harus mencoba
membunuh matahari? “Kita terlahir beruntung,” pikirnya. (The Old Man and The
Sea, 2015: 96).
“Aku
menyesal sudah membunuh ikan itu,”pikirnya. Masa-masa buruk akan datang dan
aku bahkan tak puny harpun.”Dentuso itu kejam, kuat dan juga cerdas. Tapi aku
lebih cerdas darinya, dan aku punya senjata untuk melawannya,” pikirnya. (The
Old Man and The Sea, 2015:133)
Kutipan cara bersikap :
“Aku harus
menyiapkan simpul dan tali untuk mengekangnya di samping perahu,” ucapnya
pada diri sendiri. Sampan ini tak akan mampu menahan berat tubuhnya. Aku
harus menyiapkan semuanya , lalu menaikkannnya dan mengikatnya dengan baik ,
kemudian menegakkan tiang dan berlayar pulang. (The Old Man and The Sea,
2015: 122).
“Aku
membunuhnya untuk mempertahankan diri,” kata si lelaki tua keras. “Dan aku
membunuhnya dengan baik.”
“Si bocah
lelaki itu membuatku bertahan hidup. Aku harus berhenti menipu diri.”(The Old
Man and The Sea, 2015:136)
|
Adanya unsur moral dalam karya sastra sering dikaitkan
dengan fungsi sastra sebagai pembentukan karakter pembaca terutama pembaca anak
dalam konteks pembelajaran sastra. Pembacaan dan pembelajaran sastra bermuara
pada afeksi bukan kognisi. Aspek afektif itu sering dikaitkan dengan menyukai
dan bahkan mencintai sastra. Peran sastra bagi kehidupan manusia , atau aspek
pragmatik kesasatraan bagi kehidupan manusia secara sederhana tetapi mengandung
makna yang dalam, telah dikemukakan oleh Horatius dengan istilah sweet and usefull ‘nikmat yang
bermanfaat’. Sastra memberi kenikmatan kepada kita karena ia hadir untuk
memberikan rasa senang, kesenangan, yang menghibur yang memuaskan.
(Nurgiantoro,2013: 429-433).
Karakter adalah tabiat, kepribadian, identitas diri,
jatidiri. Secara universal karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama
berdasarkan pilar: kedamaian (peace),
menghargai (respect), kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahatian (humility), kasih sayang (love), tangggung jawab (responbility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity). (Gufron dalam Nurgiantoro, 2015:
346). Berikut kutipan nilai moral yang berkaitan dengan pembentukan karakter
dalam novel The Old Man and The Sea:
a.
Kedamaian (peace)
“Angin memang teman kita,” pikirnya.
Lalu ia menambahkan, “Nmanu hanya kadang-kadang saja.
Dan laut yang perkasa juga teman kita. Dan tempat tidur juga, pikirnya. Ya,
tempat tidur adalah temanku. Tempat tidur akan jadi hal yang luar biasa. Begitu
mudahnya akan dikalahkan, pikirya. Aku tak pernah tahu betapa mudahnya itu. Dan
apa yang telah berhasil mengalahkanmu”.(The Old Man and The Sea, 2015:155).
b.
Menghargai (respect)
“Sebaiknya aku memasang kembali
umpan pada kail kecil di dekat buritan itu,” ucapnya.
“Jika ikan ini memutuskan untuk
bertahan semalam lagi, aku akan membutuhkan makan lagi, sementara air minumku
tinggal sedikit di botol. Ku kira aku tak akan dapat apa-apa selain lumba-lumba
di sini. Tapi jika aku memakannya saat masih cukup segar, rasanya pasti enak.
Kuharap seekor ikan terbang bisa datang ke sampan ini malam ini. Tapi aku tak
punya lampu untuk menarik mereka. Ikan terbang sangat enak jika dimakan
mentah-mentah, dan juga tak perlu memotongnya. Aku harus menyimpan tenagaku
sekarang. Kristus, aku tahu ia begitu besar.”
“Aku toh akan membunuhnya,” katanya.
“Dalam kebesaran dan kemuliaanya.”
“Meskipun ini tak adil,” pikirnya.
Tapi aku akan menunjukan padanya yang bisa dilakukan laki-laki tua dan dari apa
ia dapat bertahan. (The Old Man and The Sea, 2015 : 83-84).
c.
Kerjasama (cooperation)
“Ayo kita bawa perlengkapan ini pulang,” kata sibocah lelaki. “Supaya aku
bisa mengambil jala lempar dan menangkap sarden” (The Old Man and The Sea,
2015:17)
Mereka mengabil peralatan dari perahu. Si lelaki tua memikul tiang sampan
dibahunya, sementara si bocah lelaki membawakan perahu kayu dngan kepangan tali
kail cokelat yang tergulung, tombak ikan serta harpun dengan tangkainya. Peti
berisi umpan ada di bawah buritan sampan bersama pemukul yang digunakan untuk
menaklukan ikan besar saat ditarik ke sisi perahu. Tak seorang pun akan mencuri
dari si lelaki tua, tetapi lebih baik membawa pulang layar dan kail yang berat
karena embun pasti akan merusaknya. Meskipun ia cukup yakin tidak ada warga
lokal penting untuk membawa pulang tombak ikan dan harpun. (The Old Man and The
Sea, 2015:18)
d.
Kebebasan (freedom)
”Berapa
umurku waktu kau pertama kali mengajakku berlayar dengan perahu?”
“Lima
dan kau hampir terbunuh waktu kubawa naik ikan terlampau cepat. Ikannya hampir
saja meremukan perahu dan menjadikannya berkeping-keping. Kau ingat?” (The Old
Man and The Sea, 2015: 14)
e.
Kebahagiaan (happiness)
Ia memandang ke langit, kemudian ke
ikannya. Ia menatap matahari dengan lekat. Belum terlalu jauh dari tengah hari,
pikirnya. Dan angin pasat mulai datang. Tali kail tak berfungsi lagi sekarang.
Aku dan si bocah lelaki akan memotong-motong dagingnya saat kami tiba di rumah.
Ia sungguh takjub melihat besarnya
ikan itu. Ia segera melepaskan tali harpun dari pasak, melewatannya melalui
insang ikan dan mengeluarkannya dari rahang, membuat putaran di sekeliling
tombaknya lalu memasukan tali itu ke insang yang satunya,,,,
Sekarang iakn itu tampak sangat
nyata di hadapannya, jadi ia tahu itu bukan hanya mimpi.... (The Old Man and
The Sea, 2015: 123-127).
f.
Kejujuran (honesty)
Aku tak punya pemahaman
tentang dosa dan aku tak yakin bahwa aku mempercayainya. Mungkin membunuh ikan
itu dosa. Sepertinya memang begitu, meskipun aku melakukannya agar aku tetap
hidup dan memberi makan banyak orang. Tapi semuanya adalah dosa. Jangan
berpikir tentang dosa. Terlambat untuk memikirkan dosa, meskipun sebenarnya ada
banyak orang yang dibayar untuk melakukannya. Biarkan saja mereka yang memikirkan
tentang dosa. Kau terlahir untuk menjadi nelayan, seperti halnya ikan terlahir
untuk menjadi ikan. San Pedro adalah neayan sebagaimana ayah DiMaggio si
perkasa.(The Old Man and The Sea, 2015:135).
g.
Kerendahatian (humility)
“Satu
saja,” kata lelaki tua itu. Harapan dan kepercayaan dirinya tidak pernah hilang
tapi sekarang kembali segar saat angin sepoi-sepoi berembus.
“Dua,”
kata bocah itu.
“Baiklah
dua,” lelaki tua setuju. “Kau tidak mencurinya, bukan?”
“Tadinya
aku berniat begitu,” kata si bocah.
“Tapi
ini aku beli.”
“Terima
kasih,” ucap si lelaki tua. Ia begitu sederhana, namun ia heran sejak kapan ia
memiliki kerendahan hati seperti itu. Tapi ia tahu ia memilikinya, dan ia tahu
itu bukanlah hal tercela dan takkan mengkilas harga dirinya sebagai lelaki.
(The Old Man and The Sea, 2015: 16).
h.
Kasih sayang (love)
“Hanagatkan dirimu, Pak Tua,”kata si
bocah. “Ingat, ini bulan September.”
“Benar sekali. Ini adalah bulan
datangnya ikan besar,” jawab lelaki tua. “Siapa pun bisa jadi penangkap ikan di
bulan Mei.”
“Aku akan pergi cari sarden
sekarang,” kata si bocah lelaki.
Ketika
ia kembali, si lelaki tua tengah tertidur di kursi. Saat itu matahari telah
terbenam. Si bocah lelaki itu mengambil selimut tentara tua dari tempat tidur
dan menggelarnya di atas punggung kursi dan di atsa bahu si lelaki tua......
(The Old Man and The Sea, 2015:22)
i.
Tangggung jawab (responbility)
Si bocah membawa semua itu dalam wadah logam bertingkat dua dari Teras. Dua
set pisau, garpu serta sendok ada di sakunya. Masing-masing set dibungkus
dengan lap keras.
“Siapa yang memberikan ini padamu?”
“Martin. Pemiliknya.”
“Aku harus berterima kasih padanya.”
“Aku sudah mengucapkannya,” kata si bocah. “Kau tak perlu berteima kasih.”
“Akan kuberi dia daging perut dari ikan besar,” kata si lelaki tua itu.
“Apa ia telah melakukan ini untuk kita lebih dari sekali?”
“Sepertinya begitu.”
“Aku harus memberinya sesuatu yang lebih dari daging perut, kalau begitu.
Ia begitu perhatian pada kita.”
“Ia mengirimi dua bir.”
“Aku paling suka bir kalengan.”
“Aku tahu. Tapi bir botolam, bir Hateuy. Aku akan mengembalikan botolnya.”(The
Old Man and The Sea, 2015:24)
j.
Kesederhanaan (simplicity)
Si lelaki
tua meminum kopinya pelan-pelan. Hanya itu asupan untuknya hari ini dan ia tahu
ia harus meminumnya sampai habis. Sudah sekian lama makan ia merasa bosan
makan, karena itulah ia tak pernah membawa bekal makan siang. Ia punya sebotol
air di haluan sampannya., itu sudah cukup untuknya seharian.(The Old Man and
The Sea, 2015: 34).
Di dalam
gubuk ia menyandarkan tiang itu ke dinding. Di kegelapan ia menemukan sebotol
air dan meminumnya. Lalu ia berbaring di tempat tidur. Ia menarik selimut
hingga ke bahunya lalu menutupi punggung dan kakinya dan ia tidur tengkurap
menindih koran dngan tangannnya terjulur dan telapak tangannya menengadah. (The Old Man and The Sea, 2015:157).
Topi
jeraminya berada jauh di belakang kepalanya. Ia melesak ke haluan oleh tarikan
tali kail saat mersakan ikan itu membelok.
“Kau boleh
berusaha sekarang, ikan,” pikirnya. “Akan kukalahkan kau saat giliranku tiba ”
k.
Toleransi (tolerance)
Keduanya duduk di Teras. Ada banyak
nelayan di sana, mereka menertawakan si lelaki tua. Namun lelaki tua itu tidak
marah. Nelayan lain yang lebih tua menatapnya dengan tatapan iba, tetapi mereka
tidak menunjukannya dengan terang-terangan. Mereka berbicara dengan sopan
mengenai arus air laut, kedalaman kail yang mereka pasang, cuaca yang terus
baik serta apa-apa saja yang mereka lihat. Nelayan-nelayan yang sukses
hari itu ada di sana dan telah
menjanggal ikan marlin mereka. Mereka lalu membawa ikan-ikan itu.......(The Old
Man and ThSea, 2015:12-13)
l.
Persatuan (unity).
Banyak
nelayan mengerumuni sampan si lelaki tua, mengamati apa yang terikat di
sisinya. Satu orang masuk ke air, celananya digulung, mengukur kerangka itu
dengan panjang tali kail.
Bocah itu tidak turun. Ia sudah ke
sana sebelumnya dan salah satu nelayan mengurus sampan itu untuknya. “Bagaimana
kondisinya?” salah satu nelayan berteriak. “Tidur,” bocah lelaki itu berseru.
Ia tak peduli mereka melihatnya menangis.”Jangan ganggu dia.”
“Panjangnya delapan kaki dari moncong sampai ekor,”
nelayan yang mengukur tadi berseru dengan keras. (The Old Man and The Sea,
2015:158).
Bentuk penyampaian nilai-nilai moral dari sisi
tertentu cerita fiksi dipandang sebagai bentuk manifestasi keinginan pengarang
untuk berdialog. Dalam penegertian ini, karya sastra pun dapat dipandang
sebagai sarana komunikasi. Namun, dibandingkan dengan sarana komunikasi lain,
tertulis maupun lisan , karya sastra merupakan salah satu wujud karya seni yang
notabene mengemban tujuan estetik,
tentu mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyampaikan nilai-nilai moralnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk
penyampaian nilai moral dalam fiksi
dapat dibedakan ke dalam cara. Pertama, penyampaian nilai moral secaralangsung,
sedang kedua secara tidak langsung. Bentuk penyampaian nilai moral yang
langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang
bersifat uraian, telling atau
penjelasan, expository. Dilihat dari
segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya,
teknik penyampaian tersebut praktis dan komunikatif.
Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya , bentuk
penyampaian nilai moral secara tidak langsung adalah sesuatu yang tersirat
dalam cerita. Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini
berjalan dengan teknik ragaan, showing.
Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap dan
tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa atau konflik itu, baik yang
terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam
pikiran dan perasaannya. (Nurgiantoro, 2015: 460-467).
a.
Penyampaian nilai moral secara langsung, misalnya:
Dia adalah
seorang lelaki tua yang mengail sendiri saja dengan sebuah sampan di tengah
Arus Teluk. Ia telah melewatkan delapan puluh empat hari tanpa berhasil
menangkap seekor ikan pun. Dalam empat puluh hari pertama itu, seorang bocah
turut pergi berlayar bersamanya. Namun, setelah empat puluh hari berlalu tanpa
ada satu pun tangkapan, orang tua si bocah memberitahunya bahwa lelaki tua itu
sekarang menjadi sala, yang merupakan
bentuk dari tidak keberuntungan. (The Old Man and The Sea, 2015:10).
Dari kutipan
tersebut kita bisa melihat, lelaki tua itu telah menjadi salao, setelah delapan puluh empat hari tidak mendapatkan seekor
ikan. Nilai moral yang dapat kita ambil adalah jangan menilai seseorang atau
memberikan julukan yang tidak sepantasnya kepada orang lain. karena jika kita
yang berada diposisi lelaki tua itu, pasti hati kita tidak akan bisa menerima
julukan salao yang merupakan bentuk
terburuk dari ketidakberuntungan.
b.
Penyampaian nilai moral secara tidak langsung adalah kegigihan
dalam bekerja dan perjuangan bertahan hidup, Contoh tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“Sekarang,” pikirnya, aku harus memikirkan masalah
pelambatnya. Aku bisa jadi kehilangan terlalu banyak tali kail yang bisa
membuat lepas ikan itu, jika ia mengeluarkan usahanya. Pelambat dari dayung
sudah terpasang perahumemperlama penderitaan kami berdua tapi itu untuk
keselamatanku karena ia punya kecepatan tinggi yang belum digunakannya. Apa pun
yang terjadi, aku harus membersihkan jeroan lumba-lumba itu agar tak membusuk.
Ia harus memakannya sebagian agar tubuhnya kuat.(The Old Man and The Sea,
2015:97).
“Aku akan
beristirahat pada putaran berikutnya setelah ia berggerak menjauh,”katanya.
“Aku akan merasa lebih baik. Lalu dalam dua tiga giliranku, aku pasti akan
menaklukannya.” (The Old Man and The Sea, 2015:114)
Ia menahan semua rasa sakitnya dan
apa yang tersisa dari kekuatannyaserta harga dirinya yang telah menghilang
sejak lama. Ia menandingkannya dengan kesulitan yang dialami si ikan dan ikan
itu datang ke sisinya dan berenang lembut, di sampingnya, moncongnya hampir
menyentuh papan sampan dan mulai menyalip perahu itu, panjang, dalam, lebar,
keperakan dan berbelang ungu dan tak berkesudahan di dalam air. (The Old Man
and The Sea, 2015:120).
“Mulailah bekerja, Pak Tua,”
katanya. Ia menenggak sedikit air minumnya. “Ada begitu banyak pekerjaan berat
yang harus dilakukan sekarang setelah pertarungan selesai.”(The Old Man and The
Sea, 2015:123)
Daftar Pustaka
Nurgiantoro,
Burhan.2010. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: UGM Press
Mardiliyahjun.2013.Perkembangan
Nilai Moral dan Sikap:Wordpress,(https://fmardliyahjun.wordpress.com/2013/04/03/makalah-peserta-didik-perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/), dikases 19 November
2016
Chingu.2015.Biografi
Ernest Hemingway:Blogspot,(http://myblogchingu.blogspot.co.id/2015/09/biografi-ernest-hemingway-beserta.html), diakses 19
November 2016